JAKARTA - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) merevisi kebijakan tentang syarat pencairan manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) seperti diperintahkan Presiden Joko Widodo Februari lalu.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah mengatakan kementeriannya masih terus menyerap aspirasi serikat pekerja dan serikat buruh.
“Menindaklanjuti arahan Presiden terkait tata cara persyaratan dan pembayaran JHT yang perlu dipermudah. Ibu Ida Fauziyah kembali menegaskan, Kementeriannya sedang memproses revisi Permenaker No. 2 Tahun 2022,” tulis Kementerian Ketenagakerjaan melalui akun Twitter @KemnakerRI.
Peraturan yang lama masih berlaku, karena Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 memang baru akan berlaku 4 Mei mendatang.
“Permenaker lama (No. 19/2015) saat ini masih berlaku dan masih menjadi dasar bagi teman-teman pekerja/buruh untuk melakukan klaim JHT. Tidak terkecuali bagi yang ter-PHK maupun mengundurkan diri tetap dapat klaim JHT sebelum usia pensiun,” tulis akun @KemnakerRI.
Belum jelas apakah revisi yang dimaksud akan memasukkan kembali ketentuan pada peraturan yang lama, namun Kemnaker mencuit, “Pada prinsipnya, ketentuan tentang klaim JHT sesuai dengan aturan lama.”
Perintah revisi muncul setelah kaum buruh dan pekerja menolak keras aturan pencairan JHT yang tertuang dalam Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua, yang diundangkan 4 Februari lalu.
Dalam Permenaker itu, peserta hanya dapat mencairkan JHT saat memasuki masa pensiun pada usia 56 tahun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap. Padahal, dalam peraturan sebelumnya, Permenaker Nomor 19 Tahun 2015, peserta program yang mengundurkan diri dari pekerjaan atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa langsung mengklaim JHT dengan masa tunggu satu bulan sejak dinyatakan kehilangan pekerjaan.
Amarah kaum buruh terhadap perubahan aturan itu wajar adanya, kata dosen Manajemen Hubungan Industrial Universitas Katolik Parahyangan, Indrasari Tjandraningsih.
“Permenaker (Nomor 2 Tahun 2022) ini tidak sensitif terhadap kondisi ekonomi pekerja secara umum,” kata Indrasari.
Menurutnya, proses pengambilan kebijakan seharusnya tidak boleh lepas dari situasi riil subjek yang akan terkena dampak kebijakan tersebut.