JAKARTA - Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) memicu demo yang terjadi di berbagai belahan dunia.
Dilansir dari BBC di Jakarta, Kamis (19/10/2022), di Indonesia sendiri ada lebih dari 400 demo BBM sepanjang 2022, padahal pada 2021 hanya ada 19 demo BBM.
Kemudian, di Italia ada lebih dari 200 demo dalam delapan bulan pertama di 2022, sementara tahun lalu hanya ada dua. Sementara itu, di Ekuador, lebih dari 1.000 demo BMM hanya di bulan Juni saja.
BACA JUGA:Pengusaha Minta Insentif Realisasikan Konversi Kendaraan BBM ke Listrik
Adapun menganalisis pola demo-demo di dunia, kepala intelijen dari Dragonfly, lembaha keamanan dan intelijen Henry Wilkinson mengatakan yang mengejutkan baginya adalah lokasi demo-demo tersebut.
"Yang tidak biasa kali ini adalah kita melihat demo terjadi di tempat-tempat yang biasanya tidak rawan protes. Perang di Ukraina memiliki dampak besar yang tidak proporsional. Penyelesaian konflik akan meredakan krisis global secara signifikan," jelasnya.
Bahkan ada juga yang menyebut kalau kenaikan harga BBM ini terjadi karena perang Rusia-Ukraina.
Di mana minyak mentah lebih murah di awal pandemi Covid-19 karena banyak bisnis tutup sementara dan permintaan energi juga menurun drastis.
Namun, ketika kehidupan kembali ke normal baru dan permintaan energi meningkat, pemasok berjuang untuk memenuhi permintaan dan oleh sebab itu, harga naik.
Adapun Dolar AS - berada pada titik tertinggi sepanjang masa terhadap Pound, Euro, Yuan, dan Yen. Minyak yang digunakan untuk membuat bensin dibayar dalam dolar AS. Jadi mata uang lokal yang lemah terhadap dolar membuat bahan bakar menjadi lebih mahal.
Sehingga konflik Ukraina-Rusia menyebabkan banyak negara menyatakan larangan impor minyak Rusia dan dengan demikian permintaan ke produsen lain meningkat, yang mengarah ke harga yang lebih tinggi.
Diketahui, dari 91 negara dan wilayah yang mengalami kerusuhan sipil terkait harga BBM, Sri Lanka mengalami kekacauan politik.
Di tahun sebelumnya negara itu menjadi berita utama internasional setelah demo besar-besaran membuat pemerintahnya bertekuk lutut, yang akhirnya menggulingkan mantan presiden Gotabaja Rajapaksa.
Dengan salah satu inflasi tertinggi di Asia, warga Sri Lanka masih menghadapi krisis biaya hidup karena harga bahan bakar, makanan, dan obat-obatan terus meningkat.
Warga pinggiran Thalawathugoda, Kolombo bernama Wimala Dissanayaka (48) yang merupakan pemilik warungs sayur mengaku kalau saat ini hidupnya pas-pasan.
"Semua harga melambung tinggi. Biaya hidup kami meningkat, tetapi pendapatan kami tidak berubah. Saya punya tiga anak dan tarif bus telah meningkat secara dramatis, sekarang biayanya 100 rupee sekitar Rp4.200 per anak untuk pergi ke sekolah. Jadi, biayanya 600 rupee sekitar Rp25.000 untuk ketiganya setiap hari," ujarnya dikutip BBC.
Dia pun mengatakan tidak mampu lagi mengisi truk kecilnya dengan bensin untuk membawa hasil buminya ke dan dari pasar.
Sebaliknya, dia harus menggunakan transportasi umum atau berbagi alat pengangkut dengan penjual lain.
"Harganya mahal sekali, pelanggan saya tidak mau mengeluarkan uang lebih banyak. Orang yang dulu beli sayur 500 gram atau satu kilogram sekarang minta 100 gram atau 250 gram. Dan yang dulu datang dengan mobil atau motor, sekarang berjalan kaki atau menggunakan sepeda," jelasnya.
Bahkan, hingga kini pemerintah di seluruh dunia berjuang untuk menemukan solusi dari krisis ekonomi yang dialami negara-negara mereka, demonstrasi terkait harga makanan dan bahan bakar terus berlanjut. Namun bagi sebagian orang, taruhannya nyawa.
Di mana dalam sembilan bulan terakhir, menurut penelitian BBC, lebih dari 80 orang kehilangan nyawa mereka saat ikut demo BBM.
Termasuk orang-orang dari Argentina, Ekuador, Guinea, Haiti, Kazakhstan, Panama, Peru, Afrika Selatan, dan Sierra Leone.
(Zuhirna Wulan Dilla)