JAKARTA - Ombudsman RI membeberkan masalah-masalah dalam penerbitan dan pengawasan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) bawang putih. Identifikasi diungkap setelah tim investigasi melakukan pemantauan di lapangan hingga memperoleh informasi dari pelapor.
Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan, dari keterangan pelapor, hasil pantauan tim di lapangan, dan data-data pendukung dari instansi terkait yang didapatkan, Ombudsman RI mengidentifikasi adanya permasalahan pada layanan publik dalam penerbitan dan pengawasan RIPH bawang putih.
Pertama, adanya pemberian dana biaya tanam bawang putih dari importir yang jauh dari kebutuhan petani.
“Diperkirakan, misalnya di daerah Temanggung, kebutuhan biaya tanam bawang putih per hekatere per musim tanam sebesar R0 70 juta, namun banyak importir yang hanya memberikan dana biaya tanam bawang putih kepada petani pelaksana wajib taman bawang putih sebesar Rp 15 juta sampai Rp 20 juta,” ujar Yeka saat konferensi pers, Selasa (16/1/2023).
Menurutnya, hal tersebut menyebabkan beberapa masalah, seperti petani harus menanggung sisa biaya tanam sebagai tujuan peningkatan nilai tambah dan daya saing bawang putih lokal.
“Jadi, dampaknya petani harus memenuhi sisanya. Kalau mampu, kalau tidak mampu? Maka potensi wajib tanam itu besar sekali,” jelasnya.
Kedua, Ombudsman RI melihat adanya ketidaksesuaian antara wajib tanam dan realisasi wajib tanam bawang putih. Ketiga, adanya anggota fiktif pada kelompok tani pelaksana wajib tanam bawang putih.
Keempat, komitmen wajib tanam bawang putih tidak dilaksanakan oleh importir penerima RIPH bawang putih. Jadi banyak pelaku impor tidak melaksanakan wajib tanam seperti yang diatur dalam regulasi.
“Bagaimana tidak melaksanakan wajib tanam? Tidak boleh impor, apakah pelaku usaha masih bisa impor? Bisa, caranya bikin perusahaan baru, gitu kan,” papar Yeka.
“Pemerintah seyogyanya waspada terhadap perusahaan baru, lantaran besar kemungkinan patut di diduga ada importir adalah sebetulnya di belakangnya itu pelaku usaha yang enggan, yang sebelumnya tidak melakukan wajib tanam. Tapi permasalahannya kenapa pelaku usaha menghindari ini? Ini pertanyaannya yang harus kita periksa berikutnya,” bebernya.
Kelima, adanya pungutan liar dalam penerbitan RIPH bawang putih. Yeka memandang aksi pungli di Kementan sudah masuk dalam ranah hukum, sehingga prosesnya menjadi wewenang dari lembaga penegak hukum.
Dari informasi dan data yang didapatkan tim investigasi Ombudsman bahwa nilai pungli di Kementan dibalik penerbitan RIPH menyentuh Rp 250.000 per kilogram (Kg) bawang putih.
“Nilainya bervariatif, silahkan ini di sangkal juga gak apa-apa, toh fokus ombudsman juga bukan di situ, kalau sudah seperti itu ranahnya penegakan hukum,” katanya.
Keenam, penerbitan RIPH bawang putih tidak sesuai dengan hasil rapat koordinasi terbatas (rakortas) pemerintah. Di mana, Kementan melalui Direktur Jenderal Hortikultura menerbitkan RIPH bawang putih melebihi rencana impor bawang putih yang sudah diputuskan pemerintah dalam rakortas 2023.
Menurutnya, pemerintah hanya mengizinkan impor bawang putih sebesar 560.000 ton, namun RIPH yang diterbitkan Direktur Jenderal Hortikultura justru mencapai 1,2 juta ton. Artinya, jumlah impor bawang putih yang diizinkan dua kali lebih besar dari putusan pemerintah pusat.
“Ada juga penerbitan RIPH bawang putih melebihi rencana impor bawang putih. Jadi penerbitan RIPH bawang putih itu ternyata melebihi dari rencana impor bawang putih yang ditetapkan oleh pemerintah melalui rakortas,” ucap Yeka Hendra saat konferensi pers, Jakarta Selatan, Selasa (16/1/2024).
“Misalnya 2023 itu ditetapkan 560.000, rakortas menetapkan sepanjang 2023 kemarin hanya 560.000, jumlah bawang putih yang diimpor. Tapi RIPH-nya 1,2 juta, hampir dua kali lipatnya,” paparnya.
Ombudsman memandang sikap Kementan berpotensi menimbulkan permasalahan besar. Misalnya, akan ada rebutan dari para importir untuk mendapatkan penerbitan Surat Persetujuan Impor (SIP) atas komoditas tersebut hingga membuat rugi pelaku usaha.
(Feby Novalius)