JAKARTA — Skema power wheeling masuk pembahasan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan/EBET. Hal ini pun menuai polemik karena bisa menaikkan tarif listrik pada tingkat konsumen nantinya.
“Implementasi power wheeling bisa berdampak buruk bagi perekonomian di Tanah Air. Kebijakan power wheeling sama sekali tidak pro rakyat karena risiko hilir dari power wheeling adalah kenaikan tarif listrik,” terang Peneliti Energi Universitas Gajah Mada Deendarlianto, Rabu (3/4/2024).
Menurutnya, sudah banyak studi akademik terkait risiko kenaikan tarif atas implementasi power wheeling. Sebab power wheeling merupakan bentuk liberalisasi transmisi listrik yang sesuai dengan undang-undang dasar seharusnya dikuasai penuh oleh negara.
Diketahui, power wheeling bakal kembali dibahas dalam RUU EBET oleh pemerintah dan DPR pada akhir April 2024.
“Jangan sampai RUU EBT nantinya tidak memfasilitasi kepentingan negara, tapi malah justru memfasilitasi kepentingan asing. Sebab power wheeling bertolak belakang sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3,” ujarnya.
Seyogyanya, dalam pembangunan nasional yang berkelanjutan terdapat jaminan ketersediaan energi listrik yang andal, cukup, berkualitas, dan ekonomis menjadi prasyarat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan sosial, penciptaan lapangan kerja produktif, memperkuat industri, dan menciptakan sektor bisnis yang sehat.
“Dan sampai saat ini, negara melalui badan usahanya telah membuktikan pemenuhan pasokan listrik tersebut. Lalu, kenapa pemerintah harus membuka peluang kepada swasta untuk menjadi penyedia listrik? Pertanyaan itu seharusnya cukup untuk meniadakan klausul power wheeling dalam agenda RUU EBET,” ujarnya.
(Feby Novalius)