Kualitas yang terus dijaga membuatnya terus mendapat kepercayaan dari para pembelinya. Dari sekian produksi fashion dan olahannya, daster menjadi yang favorit. Daster itu bahkan juga sudah dibeli oleh kalangan perempuan muda, tapi menyesuaikan fashion dan desainnya.
"Kalau yang daster motif paling laris, cuma kami juga produksi kimono. Jadi itu beda-beda segmennya, (pembelinya) mulai dari anak-anak kecil, ada daster kecil, remaja, dan dewasa, yang remaja itu ada kimono," ujarnya.
Lambat laun produksi dasternya mulai laku, pemilihan bahan baku kain yang berkualitas seperti kain katun Jepang. Tak hanya itu, motif unik dari pakaian daster utamanya membuat produknya kian diminati pasaran.
"Pangsa pasarnya nasional seluruh kota besar sudah, Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali ke Papua sudah, banyak reseller juga kita di kota-kota besar, tapi kami jualnya sistem putus. Untuk yang ke luar negeri ke Malaysia dan Brunei Darussalam," tutur perempuan berusia 65 tahun ini.
Bahkan selama Covid-19 justru penjualan daster dan produk fashion berlabel Daster Eva Malang ini kian tinggi. Beberapa reseller baru bermunculan yang membuat sistem pemasarannya meluas. Alhasil dalam sebulan Eva dan 22 orang pekerja tetapnya mampu memproduksi 4.000 potong daster, pakaian, dan pernak-pernik olahan fashion lainnya.
"Selain (produksi) daster, pernak pernik, mukena, sandal, serbet, ke depan produksi seprei dan baju anak kecil. Kalau untuk yang produk kecil-kecil itu kayak sandal, tas, dompet, hingga tempat tisu itu kita memanfaatkan limbah kain katun Jepang," jelas perempuan tiga orang anak ini.
Menurutnya, limbah kain katun Jepang hasil produksi fashion pakaian dipotong-potong dan diolah kembali. Tak jarang proses produksi juga harus dilakukan penjahitan, hingga proses bordirnya. Semua prosesnya pun dilakukan di rumah produksi yang dijadikan outlet pameran di Jalan Borobudur Agung Barat III Nomor 1 Kelurahan Mojolangu, Kota Malang.
"Memang untuk limbahnya dari sisi lain katun Jepang, itu dimanfaatkan ulang, sehingga otomatis bagus. Itu sisa-sisa usaha dikumpulkan ulang, diolah, sesuai daster yang saya jual kainnya," jelasnya.
Produk itu terjual dengan jumlah beragam. Tetapi secara akumulasi rata-rata setidaknya 2.000 pesanan, baik dari pakaian daster dan beragam produk fashion lainnya. Setiap produk dijual dengan harga beragam, mulai termurah Rp35 ribu untuk tempat tisu, sampai ratusan ribu rupiah.
"Kalau penjualannya enggak bisa dihitung, kebanyakan orang-orang pribadi yang beli. Cuma pesanan biasanya sampai 2 ribu. Mereka tahunya dari mulut ke mulut yang membeli daster Eva, akhirnya sama orang-orang disebut Daster Eva," paparnya.
Guna menghasilkan produk bagus itu, Eva harus melibatkan 22 pekerja di outletnya. Sedangkan sisanya total ada 100 orang yang dipekerjakan secara borongan, dengan mayoritas merupakan para perempuan ibu-ibu.
"Di sini Alhamdulillah bisa menyerap tenaga kerja, (kalau produksi) di sini hanya motong, nempel, kontroling, setrika kadang di luar, jahitnya dibawa pulang di rumah masing-masing," tukasnya.
(Taufik Fajar)