Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Lampung, Nusa Tenggara Barat hingga Sulawesi Selatan juga harganya masih di bawah HPP. Rata-ratanya di Rp5.300 sampai Rp6.400 per kg.
Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Yadi Sofyan Noor mengungkapkan bahwa Bulog belum menjalankan fungsinya sebagai stabilisator. Padahal petani sudah mulai panen saat ini.
"Untuk padi petani itu jual gabah bukan beras. Mestinya pada saat panen yang ada sekarang Bulog sudah aktif menjaga HPP Gabah Kering Panen (GKP). Tapi kami melihatnya Bulog belum bekerja seperti Arah dan keinginan Menko Pangan dan Presiden," ujarnya kepada Okezone.com beberapa waktu lalu.
Dia mencontohkan kejadian di Sumatera Selatan. Saat panen tiba GKP yang dihargai Rp5.500 dari seharusnya Rp6.500 atau sesuai HPP yang baru diterapkan 15 Januari 2025.
“Ada juga di daerah lain Bulog malah nyerap beras bukan gabah,” ujarnya.
Dirinya tentu mengetahui ada kriteria gabah yang bisa dihargai HPP Rp6.500. Di mana, gabah dan beras yang dibeli sesuai HPP Rp6.500, adalah Gabah Kering Panen di tingkat petani dengan Kualitas kadar air maksimal 25% dan kadar hampa maksimal 10%.
“Rafaksi itu nanti dijadikan dasar dan alasan untuk beli di bawah HPP. Itu yang dimanfaatkan untuk tengkulak dan penggilingan padi. Kalau GKP itu di lapangan sudah umum kadar udara 25% dan kotoran gabah sekitar 5%,” ujarnya.
Kementerian Pertanian (Kementan) mengungkapkan bahwa 70% harga gabah di lapangan masih dibeli di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebesar Rp 6.500 per kilogram. Rendahnya serapan Bulog sesuai HPP sangat memprihatikan karena dapat mengancam kelangsungan swasembada pangan nasional.
“Ini sangat tidak baik bagi petani kita. Kita sudah memberikan subsidi Rp144 triliun, kita sudah memaksa petani menanam. Tapi setelah mereka produksi dan surplus, kita malah memperbaiki mereka,” ujar Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman.
(Taufik Fajar)