Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Ekonomi Lesu, China Gelontorkan Ratusan Triliun Rupiah agar Warganya Lebih Sering Belanja

Dani Jumadil Akhir , Jurnalis-Senin, 24 Maret 2025 |10:33 WIB
Ekonomi Lesu, China Gelontorkan Ratusan Triliun Rupiah agar Warganya Lebih Sering Belanja
Ekonomi Lesu, China Gelontorkan Ratusan Triliun Rupiah agar Warganya Lebih Sering Belanja (Foto: Reuters)
A
A
A

2. Saat Belanja Menurun dan Tabungan Meningkat

Pernah ada masa ketika konsumen China berkelakar tentang susahnya menahan diri untuk tidak berbelanja secara digital alias e-commerce karena banyaknya diskon belanja.

Konsumen bercanda bahwa mereka baru bisa berhenti belanja kalau tangan dipotong. Seiring meningkatnya pendapatan yang memicu daya beli mereka, tanggal 11 November di China, atau Double 11, dinobatkan sebagai hari belanja tersibuk di dunia.

Penjualan yang meledak menarik lebih dari 410 miliar yuan (setara Rp937 triliun) hanya dalam 24 jam pada 2019.

Namun, "Double 11" yang terakhir disebut "gagal total" oleh seorang penjual biji kopi daring yang berbasis di Beijing kepada BBC.

"Tanggal itu justru lebih banyak mendatangkan masalah," ujarnya.

Konsumen China menjadi jauh lebih hemat sejak masa pandemi. Hal terus berlanjut bahkan setelah pembatasan dicabut pada akhir 2022.

Pada tahun itu, Alibaba dan JD.com berhenti menerbitkan angka penjualan mereka. Ini adalah sebuah perubahan signifikan bagi perusahaan-perusahaan yang dulunya memamerkan pendapatan yang memecahkan rekor.

Seorang sumber yang mengetahui masalah ini mengatakan kepada BBC bahwa pihak berwenang China memperingatkan platform untuk tidak merilis angka. Hasil yang kurang memuaskan dikhawatirkan dapat semakin merusak kepercayaan konsumen.

Kekurangan pengeluaran bahkan telah memukul merek-merek kelas atas. Pada 2024, LVMH, Burberry, dan Richemont melaporkan penurunan penjualan di China yang dulunya merupakan tulang punggung pasar mewah global.

Di RedNote, sebuah aplikasi media sosial China, unggahan yang bertajuk "penurunan konsumsi" sudah mendapat lebih dari satu miliar tampilan dalam beberapa bulan terakhir.

Pengguna saling bertukar tips tentang cara mengganti pembelian mahal dengan alternatif yang ramah anggaran. "Balsem Tiger menjadi pengganti kopi," kata seorang pengguna.

"Saya mengoleskan parfum di antara hidung dan bibir saya sekarang—cukup saya saja yang mencium wanginya," ujar satu pengguna lagi.

Bahkan pada puncaknya, ledakan konsumen China tidak pernah sebanding dengan ekspornya. Perdagangan juga menjadi fokus investasi besar-besaran yang didukung negara di jalan raya, pelabuhan, dan zona ekonomi khusus.

China mengandalkan pekerja berupah rendah dan tabungan rumah tangga yang tinggi. Meski memicu pertumbuhan, hal ini membuat pendapatan siap pakai konsumen menjadi terbatas.

Namun sekarang, seiring meningkatnya ketidakpastian geopolitik, negara-negara mendiversifikasi rantai pasokan mereka dari China, Dengan kata lain ketergantungan negara-negara terhadap ekspor China pun menurun.

Pemerintah daerah dibebani oleh utang setelah bertahun-tahun meminjam banyak untuk berinvestasi, terutama di infrastruktur. Xi Jinping telah bersumpah "untuk menjadikan permintaan domestik sebagai kekuatan pendorong utama dan jangkar penstabil pertumbuhan".

Caiyun Wang, seorang perwakilan Kongres Rakyat Nasional, mengatakan, "dengan populasi 1,4 miliar, bahkan kenaikan permintaan 1% menciptakan pasar 14 juta orang". Namun, ada kendala dalam rencana Beijing.

Banyak analis berpendapat bahwa agar konsumsi dapat mendorong pertumbuhan, maka Partai Komunis China harus memulihkan kepercayaan konsumen dari generasi lulusan Covid yang berjuang untuk memiliki rumah atau mencari pekerjaan.

Ini juga akan membutuhkan pemicu perubahan budaya, dari gemar menabung menjadi suka berbelanja. "Tingkat konsumsi China yang sangat rendah bukanlah kebetulan," ujar Michael Pettis, seorang peneliti senior di Carnegie Endowment for International Peace.

"Ini sudah mendarah daging bagi model pertumbuhan ekonomi negara yang sudah berkembang selama tiga-empat dekade baik dari sisi politik, keuangan, hukum, maupun bisnis di China. Mengubah ini tidak akan mudah."

Makin banyak rumah tangga berbelanja, makin sedikit dana di tabungan-tabungan yang diandalkan bank-bank yang dikendalikan negara untuk mendanai industri-industri utama—termasuk AI dan teknologi inovatif yang akan memberi Beijing keunggulan atas Washington, baik secara ekonomi maupun strategis.

Itulah mengapa beberapa analis meragukan bahwa para pemimpin China ingin menciptakan ekonomi yang digerakkan oleh konsumen.

"Salah satu cara untuk memandangnya adalah bahwa tujuan utama Beijing bukanlah untuk meningkatkan kesejahteraan rumah tangga China, tetapi kesejahteraan bangsa China," tulis David Lubin, seorang peneliti di Chatham House dilansir BBC Indonesia.

Menggeser kekuasaan dari negara ke individu mungkin bukanlah sesuatu yang diinginkan Beijing. Para pemimpin China memang melakukan itu pada masa lalu ketika negara mulai membuka diri dengan dunia internasional melalui perdagangan, mendorong bisnis, dan mengundang investasi asing.

Langkah itu mengubah ekonomi China. Pertanyaannya adalah apakah Xi Jinping ingin melakukannya lagi.

(Dani Jumadil Akhir)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement