Selain itu, menurut Roy, peredaran uang di masyarakat juga mengalami penurunan signifikan, turun sekitar 16% dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2024, peredaran uang mencapai Rp137 triliun, sementara di 2025 hanya sekitar Rp114 triliun.
“Indeks penjualan ritel (IPR) kita juga turun dari 122 menjadi 112. Jadi semua indikator menandakan memang masyarakat menahan, menahan belanja. Jadi ada dua model. Ada yang menahan belanja meski mereka punya uang, ada juga yang menahan belanja karena mereka ter-PHK," sebut Roy.
Roy juga menyoroti dampak dari penurunan daya beli terhadap pertumbuhan ekonomi. Jika tahun lalu pertumbuhan ekonomi kuartal kedua mencapai 5,17, tahun ini diperkirakan hanya berada di kisaran 4,8-4,9. Pertumbuhan ritel pun tidak lagi mencapai double digit seperti tahun sebelumnya yang berada di angka 18-20%, melainkan hanya sekitar 8-9%.
“Pemerintah seharusnya mencermati indikator-indikator ini untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam mendorong konsumsi masyarakat,” pungkas Roy.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)