Yassierli menambahkan, pihaknya juga mengusulkan agar saat ini telah berkomunikasi dengan berbagai K/L agar Kemnaker dilibatkan sejak tahap awal proses investasi, agar dapat menyiapkan SDM sesuai kebutuhan sektor tersebut. Ini menjadi penting karena persoalan mismatch antara kebutuhan industri dan keahlian tenaga kerja masih menjadi masalah serius.
“Kami sadar bahwa lapangan kerja adalah harapan utama masyarakat. Tapi dalam kenyataannya, banyak industri tumbuh tapi kesulitan mendapatkan tenaga kerja yang sesuai. Ini bukan membalikkan fakta, ini realitas,” tegasnya.
Dia memaparkan bahwa modal utama Kemnaker dalam menjawab tantangan itu adalah Balai Latihan Kerja (BLK) atau Balai Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (BPVP). Namun ia mengakui, tantangan efektivitas, efisiensi, dan skala masih besar.
"Pertanyaannya, apakah peserta pelatihan benar-benar bekerja sesuai pelatihannya? Apakah informasi pelatihan sampai ke masyarakat luas? Dan skalanya? Saat ini hanya menyentuh sekitar 140 ribu orang, padahal butuh jutaan,” katanya.
Untuk menjawab itu, Kemnaker kini tengah melakukan transformasi BLK dengan menambahkan kurikulum baru seperti industri 4.0, creative skills, smart office, hingga smart supply chain dan smart healthcare. “Saya bayangkan dua sampai tiga tahun ke depan, balai-balai ini menjadi tempat pencetak skill masa depan yang dibutuhkan Gen Z,” katanya.
Selain itu, pengembangan skill hijau (green jobs) seperti agroforestry juga tengah dikembangkan. Menaker menekankan pentingnya konektivitas antar pihak, baik kementerian, lembaga, swasta, hingga koperasi. “Connecting the dots itu penting. Kita kolaborasikan sumber daya masing-masing,” ujarnya.