Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, industri kilang memiliki peran penting dalam pemenuhan kebutuhan energi nasional. Akan tetapi, dalam kenyataannya, industri kilang dihadapkan pada sejumlah tantangan, salah satunya terkait pasar bahan bakar minyak (BBM) di mana kondisinya merupakan regulated market.
“BBM itu kan yang diperdagangkan saat ini sebagian besar volumenya adalah barang subsidi,” ujar Komaidi.
Kondisi tersebut, ujar Komaidi, menyebabkan industri kilang minyak di Indonesia relatif sulit untuk dapat memperoleh margin usaha yang wajar. Imbasnya, perkembangan industri kilang di Indonesia relatif lambat.
“Sebagai perbandingan, dalam 10 tahun terakhir kapasitas kilang minyak wilayah Asia Pasifik bertambah 3,73 juta barel per hari, Timur Tengah 2,73 juta barel per hari dan Eropa 829 ribu barel per hari. Sementara di Indonesia pada periode tersebut kapasitas kilang minyak Indonesia hanya bertambah 125 ribu barel per hari,” katanya.
Di samping itu, kata Komaidi, industri kilang juga membutuhkan anggaran investasi yang besar. Reforminer mencatat, rata-rata pembangunan kilang minyak dengan kapasitas 100.000 barel per hari memerlukan investasi antara USD7,5–8 miliar atau sekitar Rp123 triliun–132 triliun.
Kebutuhan kilang di dalam negeri dinilai cukup mendesak. Jika mengacu pada konsumsi BBM nasional saat ini di angka 1,6 juta barel per hari, maka masih diperlukan impor BBM sekitar 600.000 barel per hari, karena produksi dalam negeri hanya di kisaran 1 juta barel per hari.
Komaidi menjelaskan, terkait aspek teknologi dan keandalan kilang, keberadaan proyek RDMP dan Grass Root Refinery (GRR) dalam upaya meningkatkan kapasitas dan kualitas produk Pertamina adalah langkah tepat. Sebagai gambaran, adanya RDMP Balikpapan turut mendorong Nelson Complexity Index (NCI) atau indeks kompleksitas kilang menjadi lebih tinggi yakni dari semula 3,7 menjadi 8. Ini menunjukkan bahwa nilai tambah dari produk kilang tumbuh signifikan di mana indeks 10 merupakan angka tertinggi.