JAKARTA – Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa jumlah startup berbasis artificial intelligence (AI) di Indonesia masih sangat sedikit.
Berdasarkan survei Google terbaru, jumlah startup AI di Tanah Air tertinggal jauh dibandingkan negara tetangga, seperti Singapura.
"Indonesia hanya punya 25 startup AI. Bandingkan dengan Singapura yang sudah hampir 300 startup AI," ungkapnya, Senin (1/2/2025).
Kondisi ini menurutnya menjadi peluang besar bagi pelaku usaha di dalam negeri untuk mengembangkan inovasi dan memperkuat ekosistem teknologi lokal. Ia menyebut Indonesia memiliki potensi besar yang belum dioptimalkan, terutama dari sisi ketersediaan data.
"Jadi ini juga satu hal yang bisa kita tarik sebagai kesempatan, apalagi kita punya data yang kuat di sektor-sektor tertentu," lanjutnya.
Menko Airlangga mencontohkan ekosistem data kesehatan nasional yang sangat masif, yang bisa digunakan untuk meningkatkan pelayanan maupun pengembangan teknologi.
"Kesehatan BPJS saja punya ratusan juta data, dan ini bisa digunakan untuk perbaikan. Bahkan Bill Gates pun mendukung penelitian untuk vaksin TB berbasis data yang ada di sektor kesehatan Indonesia," pungkasnya.
Meski jumlah startup AI masih terbatas, Airlangga menegaskan komitmen Indonesia dalam transformasi digital dan integrasi ekonomi regional. Menurutnya, ekonomi digital di tingkat ASEAN diproyeksikan mencapai nilai fantastis USD2 triliun pada 2030, didukung oleh upaya Indonesia mendorong integrasi digital melalui ASEAN Digital Economy Framework Agreement (DEFA).
“Di tingkat regional, Indonesia mendorong integrasi digital melalui ASEAN DEFA, yang diproyeksikan menciptakan ekonomi digital senilai USD2 triliun pada 2030. Negosiasi telah mencapai kemajuan substansial dan ditargetkan selesai di awal 2026 pada Kepemimpinan Filipina, dengan penandatanganan resmi di akhir tahun tersebut," ungkap Airlangga dalam OECD Asia Roundtable on Digital Finance 2025, secara virtual.
Airlangga menambahkan, Indonesia juga telah menyelesaikan ketentuan perdagangan digital di bawah IEU-CEPA, membuka peluang baru untuk meningkatkan daya saing dan penciptaan lapangan kerja.
Menurut Menko, perekonomian digital Indonesia sendiri terus berkembang pesat. Nilai Gross Merchandise Value (GMV) diproyeksikan mendekati USD100 miliar pada 2025, didorong oleh kemajuan e-commerce. Pembayaran digital meningkat 27 persen menjadi USD538 miliar pada 2025 dan diproyeksikan akan melampaui USD1 triliun pada 2030.
Selain itu, QRIS menunjukkan inovasi digital yang memajukan inklusi, dengan transaksi tumbuh 148 persen (yoy) tahun ini, melayani 39 juta merchant dan 58 juta pengguna.
Airlangga menekankan peran penting AI dalam membangun ekonomi dan keuangan digital yang lebih tangguh. Ia menyebut pembangunan fondasi AI membutuhkan empat pilar utama, yang disebutnya 4C: Connectivity, Computing capacity, Context, dan Competence.
Ia menjelaskan upaya Indonesia dalam memperkuat pilar-pilar tersebut, seperti memperluas jaringan serat optik (connectivity), memberi insentif kepada pusat data domestik (computing capacity), mengembangkan AI yang relevan secara lokal (context), dan mengatasi kesenjangan talenta digital (competence).
Menurut Airlangga, pertumbuhan pendapatan untuk aplikasi berbasis AI cukup kuat, dan investasi swasta di bidang AI mencapai USD91 juta dari akhir 2024 hingga pertengahan 2025. Sentimen publik juga optimistis, dengan 56 persen pekerja percaya AI akan meningkatkan produktivitas, menempatkan Indonesia sebagai pasar AI potensial terbesar keempat di Asia.
“Selain itu, sektor keuangan dan transportasi digital juga harus berinovasi. Aplikasi AI skala kecil dapat memperluas akses ke perbankan digital, keuangan mikro, transportasi digital, dan perangkat pendukung pembuatan keputusan UKM,” pungkas Airlangga.
(Feby Novalius)