"Saya kira menang harus direvisi, dikaji lagi metodenya cocok apa enggak di Indonesia. Kalau sebulan sekali saya nilai enggak cocok," tutur Tony, Jakarta, Sabtu (28/3/2015).
Tony mengungkapkan, kebijakan pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM sebulan sekali dinilai akan memicu adanya kenaikan harga-harga kebutuhan pokok serta angkutan umum. Pasalnya, karakteristik para pelaku pasar di Indonesia, ketika harga sudah naik maka tidak mudah untuk menurunkannya kembali.
"Misalnya harga BBM naik Rp500 per liter, tapi pengusaha itu naikannya 5 persen harga jual produknya, harusnya itu 1 persen saja. Pengusaha Indonesia itu kan responsif, memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan," ujarnya.
Selain itu, dia mengatakan terdapat kerugian selisih harga yang jauh, antara harga BBM dalam negeri dengan harga minyak dunia. Sehingga, dia berpendapat pemerintah masih mau menambalnya dengan subsidi ke BBM agar masyarakat tidak terbebani dengan harga yang tinggi.
"Sebaiknya kebijakan pemerintah untuk mengubah harga BBM dalam waktu lebih panjang sekira enam bulan, meskipun pemerintah harus menomboki dengan subsidi terutama bila harga minyak dunia sedang naik," kata dia.
"Tetapi ketika harga turun pemerintah akan mendapat keuntungan sedikit, itu untuk menghindari pengusaha memanfaatkan situasi dengan naikkan harga lebih tinggi," tukasnya.
(Martin Bagya Kertiyasa)