"Tapi saat ini harta atau kekayaan bisa dalam bentuk yang jauh berbeda seperti saham, sukuk, dan upah atau gaji. Bahwa jika kita mengikuti definisi kekayaan klasik mungkin bukan objek zakat," jelasnya.
Baca Juga: Sri Mulyani: Saya Percaya Ekonomi Syariah Aktif dalam Pembiayaan Infrastruktur
Sri Mulyani mengatakan, untuk menerapkan zakat maal sekarang ini, maka harus kembali ke ide utama mengapa zakat dibebankan. Dirinya pun mencontohkan ucapan ulama modern seperti Yusuf Qardhawi yang mengatakan bahwa zakat yang kaya harus dibebankan ke aset yang produktif atau tumbuh. Karena kelebihan kebutuhan dasar, sudah dimiliki dengan sempurna, memenuhi kuantitas dan bertahan dalam jangka waktu tertentu.
"Dengan kerangka pemahaman baru ini, objek zakat yang kaya bisa jauh lebih luas dan potensi koleksi zakat juga meningkat. Meski begitu, ada masalah pengelolaan zakat di banyak negara Islam termasuk Indonesia. Koleksi dan distribusi zakat, misalnya, sebagian besar disalurkan secara informal melalui keluarga, teman atau badan amal informal. Fenomena ini telah menyebabkan pengelolaan zakat belum optimal," tukasnya.
Baca Juga: Sri Mulyani: Wakaf Tunai Bisa Capai Triliunan Rupiah!
(Dani Jumadil Akhir)