JAKARTA - Larangan penjualan bir di minimarket mengancam penerimaan produsen minuman itu. Di sisi lain, sorotan mengarah pada benturan antara kelompok Islamis dan kepentingan bisnis yang pernah dijanjikan Presiden Joko Widodo akan dicari penyelesaiannya.
Lebih dari setengah penjualan bir di Indonesia kemungkinan besar akan terhantam aturan baru. Pasalnya, minimarket dan pengecer kecil menyumbang 60 persen pangsa pasar.
“Kami sangat khawatir,” ujar John Galvin, direktur pelaksana Diageo Indonesia, distributor merek Guinness di tanah air. “Kita berbicara mengenai absennya ketersediaan bir di banyak wilayah negeri ini.”
Aturan yang mulai berlaku Kamis itu adalah satu di antara puluhan regulasi yang mesti dipatuhi produsen maupun penjual minuman beralkohol. Dengan aturan itu, minuman dengan kadar alkohol lebih dari 1 persen dilarang beredar di minimarket. Izin penjualan masih akan berlaku di supermarket dan restoran.
Para peritel dan distributor bir mengatakan langkah itu akan memangkas penerimaan, memicu penjualan gelap, dan membingungkan investor.
Perusahaan seperti Diageo dan Heineken berupaya memanfaatkan kenaikan pendapatan masyarakat. Menurut mereka, aturan baru berlawanan dengan janji Presiden Joko Widodo untuk menyambut para investor.
Masyarakat Indonesia, dibandingkan dengan Iran dan Afghanistan, tidak mengonsumsi banyak minuman beralkohol. Menurut Badan Kesehatan Dunia, atau WHO, konsumsi per kapita Indonesia adalah kurang dari 600 ml per tahun, sementara Asia Tenggara hampir 3.500 ml per tahun.
Di tengah larangan pelbagai agama untuk mengonsumsi minuman beralkohol, sejumlah perwakilan industri menyebutkan adanya kenaikan permintaan.
Aturan baru itu berakar dari Kementerian Perdagangan yang mengatakan bahwa larangan dibutuhkan untuk mencegah konsumsi oleh warga belum cukup umur.
Lokasi minimarket kian dekat dengan kawasan perumahan dan sekolah. “Generasi muda dapat membeli dan mengonsumsi minuman beralkohol dengan mudah,” ujar Srie Agustina, Direktur Jenderal Perdagangan Domestik.
Jaringan minimarket seperti 7-Eleven menarik kaum muda untuk nongkrong, dan mereka tidak terlalu mencemaskan larangan karena hanya 5 persen dari penjualannya berasal dari minuman beralkohol.
Namun, sejumlah peritel setempat dan pedagang kecil menentang aturan kementerian, khususnya mereka yang terdapat di Bali.
Beberapa analis memandang larangan sebagai tanda bangkitnya pengaruh kelompok Islam konservatif dalam percaturan politik lokal.
Di sejumlah tempat, pedagang dan petani kecil mengeluhkan bahwa maraknya minimarket menghancurkan penghidupan mereka, ujar Michael Buehler, dosen politik bandingan dari University of London School of Oriental and African Studies.
“Saya rasa, banyak kelompok Islam setempat memanfaatkan rasa frustrasi itu demi agendanya sendiri,” ujarnya.
Asosiasi Pengusaha Indonesia menaksir bahwa angka penjualan minuman beralkohol di minimarket turun sebesar Rp700 miliar dalam tiga bulan pertama setelah anjuran mengurangi stok alkohol dilontarkan.
Diageo telah meminta penundaan aturan selama setahun agar banyak perusahaan sempat membicarakan inisiatif dengan pemerintah untuk membatasi konsumen yang belum cukup umur. (Oleh Sara Schonhardt)
Berita ini pertama kali dipublikasikan oleh Wall Street Journal.
(Rani Hardjanti)