Alasan yang paling mempengaruhi yakni sederet kebijakan pemerintah yang tak mendukung IHT. Mulai dari aturan luasan produksi, gambar seram hingga kenaikan tarif cukai rokok setiap tahunnya. Dia mencontohkan kenaikan PPN dari 8,4 persen menjadi 8,7 persen per batang. “Selain itu, kita juga masih dikenai pajak daerah juga. Apalagi nominal upah minimum kabupaten (UMK) tahun ini juga naik lumayan signifikan.
Iklim usaha kian tak kompetitif kalau kondisinya seperti ini,” kata Agus Suparyanto kemarin. Maraknya rokok bodong yang beredar di pasaran kian mem perparah kondisi itu. Pangsa pasar rokok pabrik resmi terus dirongrong rokok bodong, terlebih saat kondisi ekonomi kurang bergairah seperti sekarang ini. “Karena ekonomi sulit orang juga mengurangi konsumsi rokoknya. Kalau tetap tak mampu dia bisa beralih ke rokok bodong yang harganya lebih murah,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala KPPBC Tipe Madya Cukai Kudus Suryana membenarkan adanya 11 pabrik rokok yang gulung tikar. Meski begitu, menurut Suryana imbas gulung tikarnya 11 pabrik rokok itu tak terlalu signifikan terhadap setoran cukai ke kas negara. Sebab, selama ini penyumbang terbesar pemasukan cukai berasal dari pabrik rokok besar.
(Fakhri Rezy)