Perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat lesunya perekonomian setelah krisis fiskal di Eropa ditengarai berkontribusi cukup besar terhadap membengkaknya kredit bermasalah di Eropa. Persoalan terbesar perbankan Eropa saat ini adalah membengkaknya kredit bermasalah. Menurut IMF, rata-rata rasio NPL di zona Eropa mencapai puncaknya pada 2013 yang berada di angka 8%. Meskipun di beberapa negara di Eropa rasio NPL berada di bawah 3%, di sejumlah negara kredit bermasalah melonjak.
Posisi September 2016, empat negara Eropa seperti Italia, Irlandia, Portugal, dan Slovenia rata-rata NPL berada di level 20%. Bahkan dua negara Eropa, yaitu Siprus dan Yunani memiliki exposure kredit bermasalah yang sangat parah, di mana setengah dari total pinjaman perbankan dikategorikan sebagai kredit bermasalah.
Melihat hal ini, banyak pihak yang mulai waswas bahwa persoalan yang terjadi di MPS berisiko akan tertransmisi tidak hanya bagi bank di negara lain di Eropa, tetapi juga cerminan krisis ekonomi yang lebih dalam di kawasan Eropa, di mana melonjaknya kredit bermasalah salah satunya disebabkan oleh kinerja sektor riil yang memburuk dan membuat konsumen maupun korporasi mengalami kesulitan membayar kewajiban ke perbankan.
Sentimen negatif dari kawasan Eropa sebenarnya tidak hanya bersumber dari krisis perbankan seperti yang dialami oleh MPS, tetapi juga meningkatnya sentimen anti-Uni Eropa yang semakin menguat. Pemilihan presiden di Prancis, misalnya, di mana kandidat dari Partai Sayap Kanan yaitu Marie Le Pen sudah menyatakan akan mengeluarkan Prancis dari Uni Eropa apabila terpilih sebagai presiden.
Apabila skenario ini terjadi, ketidakpastian politik akan semakin meningkat pascakeluarnya Inggris dari Uni Eropa atau yang kita kenal sebagai Brexit. Sementara itu, gelombang mengkritisi Uni Eropa juga dirasakan semakin menguat di sejumlah negara seperti di Belanda yang tahun ini juga akan menyelenggarakan pemilihan umum. Kombinasi antara stagnasi ekonomi Zona Eropa, potensi krisis perbankan, Brexit, dan sejumlah agenda politik telah menjadikan Zona Eropa sebagai episentrum baru externalshock bagi perekonomian dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Dengan semakin terintegrasinya sistem perbankan, setiap guncangan eksternal akan berdampak langsung ataupun tidak langsung ke stabilitas sistem keuangan nasional. Besarkecilnya magnitudo dari dampak akan sangat ditentukan oleh daya tahan sistem keuangan nasional.