"Paling tidak 5 pekan tanpa hujan, untuk hasil garam benar-benar bisa kering," kata Misri yang juga penulis buku 'Hikayat Si Induk Bumbu'.
Di sisi lain, lemahnya tingkat informasi oleh petani garam soal perubahan cuaca, juga turut menjadi persoalan.
"Mereka tidak punya info yang cukup soal perubahan cuaca. Mereka memerlukan ramalan cuaca, tapi informasi tentang ramalan cuaca ini cukup lama mereka terima," ujarnya.
Baca Juga: Sudah Masuk RI, Mendag Cek Kebocoran Garam Impor
Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Jasa Kelautan Ditjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian KKP mengatakan, untuk menangani ini pemerintah telah melakukan penanganan dengan menbuat daerah sentra garam industri di NTT.
"Produksi garam yang hanya mungkin bisa kalau pndekatannya ketersediaan luas lahan. Perluasan lahan memungkinkan, tapi juga ada syarat cuaca. Di wilayah timur memungkinkan, di NTT. Cuaca kemarau di sana lebih panjang 6-8 bulan. Di Jawa-Madura, kemarau hanya 4-6 bulan," ujarnya.
Selain itu, pihaknya juga terus berkoordinasi dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam pengadaan alat pengukur cuaca di setiap sentra garam.
"Jadi tutupin kekurangan selain ekstensifikasi juga intensifikasi dengan teknologi. Karena seluas apa pun tambak tanpa matahari gak bsa produksi," pungkasnya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)