JAKARTA - Pandangan yang menyayangkan dikaitkannya keputusan impor 100.000 ton jagung pakan dengan kecukupan produksi dalam negeri, bukan hanya datang dari kalangan petani.
Pandangan serupa juga dikemukakan Dekan Fakultas Pertanian Univeritas Islam Riau Ujang Paman Ismail. Ujang mengatakan, akal sehatnya terusik untuk ikut menyampaikan pandangan yang netral.
Dia sangat menyayangkan, kebijakan impor jagung dalam rapat koordinasi yang dipimpin Menko Perekonomian Darmin Nasution yang volumenya sangat kecil dikait-kaitkan dengan kegagalan produksi petani kita di dalam negeri dan pembenaran kegagalan program pertanian secara luas.
Baca Juga: Impor 100.000 Ton Jagung dari Kacamata Petani
"Sejatinya dalam definisi kedaulatan pangan di negara manapun, swasembada dan impor merupakan dua hal yang tidak bisa disandingkan atau dipertentangkan. Karena swasembada lebih memiliki orientasi kecukupan produksi dalam negeri, sementara impor bisa lebih banyak terkait pada upaya untuk stabilisasi harga melalui distribusi antar wilayah atau bahkan lintas negara,” ujarnya, dalam keterangan tertulis, Senin (5/11/2018).
Di beberapa negara tetangga seperti Jepang dan Thailand mereka mendeklarasikan bahwa sudah swasembada pangan secara nasional, dua negara itu bahkan telah surplus beberapa komoditas pertanian. Namun di lain waktu dan pada beberapa lokasi kedua negara itu melakukan kegiatan importasi yang ditujukan untuk stabilisasi harga di suatu wilayah.
"Politisasi impor yang sangat kecil tersebut sangat lucu dan dangkal dalam memahami persoalan yang ada. Bagaimanapun juga, pemerintah kita telah mampu meminimalkan impor melalui keputusan berani dari Menteri Pertanian yang menyatakan stop impor Jagung untuk kebutuhan Pakan ternak sejak 2015,” tambahnya.
Baca Juga: Impor Jagung Akan Jadi Pukulan Telak Untuk Petani
Menurut Ujang, persoalan fluktuasi harga jagung belakangan ini bukan masalah produksi. Dia menyitir data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyimpulkan produksi dan pasokan jagung tahun 2018 sudah surplus sebesar 12 juta ton PK. Selama 3 tahun ini Indonesia sudah menstop impor jagung yang biasanya 3,5 juta ton pertahun. Bahkan di tahun 2018 saja, sampai bulan Oktober Indonesia sudah mengekspor 370 ribu ton jagung ke negara tetangga.
"Kenapa pada saat harga tinggi banyak yang komplain masalah produksi. Padahal jelas-jelas data menunjukkan produksi kita surplus. Harus digarisbawahi persoalan konektivitas sentra produksi ke pengguna jagung yang memusat di beberapa provinsi saja merupakan masalah utama,” jelasnya.
(Feb)