"Kalau terus sekarang tahun 2015,2016 ditanya kok cost recovery ya naik padahal produksi turun. Itu statement salah karena lapangan migas harus dilihat dari awal sampai akhir. Dari 1999 sampai 2034," ujarnya dalam acara Sarasehan Media di Ciloto, Cianjur Jawa Barat, Kamis (8/11/2018).

Lagipula lanjut Amien, untuk menentukan naik turunnya produksi dan cost recovery minyak bumi tidak bisa hanya diukur berdasarkan periode kerja. Melainkan juga harus diperhitungkan kapan dibangun dan berakhirnya sumur minyak tersebut.
"Jadi kalau mengevaluasi lapangan kerja month to month. Sepanjang umur lapangan. Kalau dinilainya hanya bandingkan 2017-2018 saja tidak bisa gitu," ucapnya.
Baca Juga: Banyak yang Tua, SKK Migas: Saatnya Cari Sumber Minyak Baru
Di sisi lain, konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) terus naik yang berujung akan membengkaknya angka impor minyak Indonesia. Jika impor terus meningkat, maka akan berdamapak kepada nilai tukar Rupiah terhadap dolar Ameriak Serikat (AS) yang melemah.