Namun pada tahun 2018 ini, lanjutnya, defisit tersebut tidak bisa terkompensasi dikarenakan larinya arus modal dari Indonesia sebagai dampak normalisasi ekonomi global yang antara lain dengan adanya kebijakan kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat. Sehingga sebagai dampaknya terjadi pelemahan pada nilai tukar Rupiah.
Baca Juga: Akhirnya Neraca Perdagangan Surplus, No 3 Indonesia Menang dari Amerika!
“Defisit transaksi berjalan bukanlah sebuah dosa,apalagi untuk negara berkembang seperti Indonesia. Sepanjang defisit tersebut memang digunakan untuk impor barang-barang yang produktif,” ujar Sri Mulyani.
Dengan kondisi pembiayaan keuangan yang semakin mahal dan pengetatan likuiditas ini, pemerintah akan menjadi lebih berhati-hati dalam menentukan prioritas dalam proyek pembangunan. Ini semua dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan ekonomi dunia yang akan menuju pada kondisi normal yang baru.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)