JAKARTA - Ekonomi Thailand diperkirakan akan melambat lebih jauh lagi pada 2020. Hal ini dikarenakan dampak negatif pada pariwisata dan perdagangan imbas Virus Korona atau Covid-19.
Mengutip Nikkei, Jakarta, Rabu (19/2/2020), Dewan Pengembangan Ekonomi dan Sosial Nasional (The National Economic and Social Development Council/NESDC) memperkirakan tingkat pertumbuhan untuk tahun 2020 adalah antara 1,5% dan 2,5%. Penundaan pembubaran anggaran nasional juga bisa menjadi angin sakal bagi ekonomi.
 Baca juga: Perang Dagang Tekan Perekonomian Thailand pada 2019
"Ekonomi Thailand dapat tumbuh 1,5% pada 2020 jika epidemi koronavirus berlangsung hingga Juni. Itu bisa tumbuh 2,5% jika situasinya terkendali pada April," kata Wakil Sekretaris Jenderal NESDC Wichayayuth Boonchit.
Badan tersebut menghitung dampak epidemi menggunakan model yang dibuat berdasarkan pengalaman Thailand dalam menangani sindrom pernafasan akut yang parah, atau SARS, pada 2013. Model ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi bisa turun di bawah 1,5% jika epidemi berlangsung lebih lama dari yang diharapkan oleh lembaga tersebut.
 Baca juga: Virus Korona Serang Perekonomian Thailand, Bath Terancam Jadi Mata Uang Terburuk 2020
Prediksi ini sejalan dengan melemahnya pandangan yang diberikan oleh otoritas ekonomi lainnya. Pada hari Kamis, Don Nakornthab, direktur senior departemen ekonomi dan kebijakan Bank Thailand, mengatakan ekonomi kerajaan dapat tumbuh kurang dari 2%.
Ekonomi Thailand tumbuh 1,6% dalam tiga bulan yang berakhir Desember, dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun sebelumnya.
 Baca juga: Thailand Akan Luncurkan Bursa Khusus Startup
"Ekonomi Thailand berada dalam kondisi yang buruk bahkan sebelum coronavirus menyerang," tulis Capital Economics dalam sebuah catatan setelah data dipublikasikan.
"Dengan kedatangan wisatawan yang menurun dan gangguan dari penutupan pabrik di China kemungkinan meningkat, ekonomi Thailand akan berkontraksi tajam di Q1." Penurunan kedatangan wisatawan karena wabah koronavirus, perlambatan ekonomi Tiongkok dan gangguan dari penutupan pabrik di China kemungkinan menjadi penyebab kontraksi, menurut laporan itu.
Follow Berita Okezone di Google News
(rzy)