Namun saat kasus tersebut telah masuk ke Mahkamah Agung (MA) justru perusahaan diwajibkan untuk membayarkan PPN. Karena itu, pihak Arya akan melakukan dua langkah terkait masalah tersebut.
Pertama mendialogkan dengan Kementerian Keuangan karena mereka mengakui bahwa ini bukanlah objek pajak. Kedua, mendorong PGN untuk melakukan Peninjauan Kembali (PK) ke MA. "PGN yang mengajukan PK ke MA, tapi kami komunikasi dengan Kemenkeu juga," kata Arya.
Dalam surat penjelasan ke Bursa Efek Indonesia tertanggal 30 Desember 2020, Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama menjelaskan kronologi sengketa pajak tersebut. Pada awalnya PGN memiliki perkara hukum yaitu sengketa pajak dengan DJP atas transaksi Tahun Pajak 2012 dan 2013 yang telah dilaporkan di dalam catatan Laporan Keuangan Perseroan per 31 Desember 2017.
Sengketa itu berkaitan dengan perbedaan penafsiran dalam memahami ketentuan perpajakan yaitu PMK-252/PMK.011/2012 (PMK) terhadap pelaksanaan kewajiban pemungutan PPN atas penyerahan gas bumi.
Per Juni 1998 PGN menetapkan harga gas dalam dolar per MMBTU dan Rp/M3 disebabkan oleh melemahnya nilai tukar mata uang Rp terhadap dolar AS, yang sebelumnya harga gas dalam Rp/M3 saja.
Terkait hal ini, DJP berpendapat porsi harga Rp/M3 tersebut sebagai penggantian jasa distribusi yang dikenai PPN, sedangkan PGN berpendapat harga dalam dolar per MMBTU dan Rp/M3 merupakan satu kesatuan harga gas yang tidak dikenai PPN.