JAKARTA - Industri Hasil Tembakau (IHT) mencatat 7.000 tenaga kerja di industri tembakau yang kehilangan pekerjaan per tahunnya. Ancaman PHK ini terjadi jika revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Budidoyo mengatakan, perkiraan tersebut didasari atas pabrik tembakau yang berpotensi ditutup karena tekanan kerugian keuangan.
Baca Juga: Kemenperin: Revisi Aturan Tembakau Belum Tepat Dilakukan
"Seperti yang sudah disampaikan bahwa kalau nanti terjadi revisi, maka sekarang inikan sudah tertekan, industri inikan sudah tertekan dengan adanya pandemi, makanya dengan revisi PP tadi, justru semakin menekan," ujar Budidoyo dalam konferensi pers, Rabu (9/6/2021).
Dari data IHT, dalam kurun waktu 2015-2020 adanya penurunan produksi di level rata-rata 7,5% atau kisaran 26 miliar batang. Dalam hitungannya, jika ada 1 gram tembakau mengalami penurunan, maka ada 26.000 ton tembakau yang tidak terserap.
Baca Juga: Investasi dan Nasib Petani, Alasan Aturan soal Rokok Ini Tidak Akan Direvisi
"Misalnya 26 miliar batang itu dikonversi menjadi 1 gram, maka sudah ada 26.000 ton yang tidak terserap. Belum lagi sektor tenaga kerja. Dari hasil penelitian, jika penurunan 5%, maka ada potensi loss di tenaga kerja itu sekitar 7.000 orang," katanya.
Dengan begitu, revisi PP Nomor 109 Tahun 2012, akan mendorong potensi kehilangan pekerjaan. Budidoyo menegaskan, hal itu mengkhianati amanah peraturan dan perundang-undangan karena pemerintah seharusnya mengkonsultasikan kebijakan yang berdampak pada mata rantai IHT kepada para pemangku kepentingannya.
Follow Berita Okezone di Google News