Penerapan pungutan BJPSDA juga akan berdampak pada minat investasi pada pemanfaatan EBT berbasis air. Pasalnya, untuk membangun PLTA membutuhkan investasi yang besar, pungutan tersebut dikhawatirkan akan membuat investor berpikir ulang untuk menanamkan modalnya.
"Saya kira bisa sangat mengganggu investasi karena memang kita punya target bauran energi, dan PLTA sebagai pembangkit yang memiliki nol emisi, biaya investasinya tinggi," katanya.
Dia melanjutkan, pungutan BJPSDA juga akan memberatkan PLN dalam memanfaatkan EBT, sebab biaya pungutan tersebut dibebankan ke pengguna SDA, termasuk salah satunya PLN yang memiliki tugas menyediakan listrik untuk masyarakat umum dengan harga terjangkau.
Menurut Mamit, pemerintah harus berhati-hati dalam menerapkan pungutan BJPSDA, terutama dalam menentukan besaran pungutannya agar tidak terlalu besar, sebab ada pungutan lain sejenis yang sudah diterapkan sebelumnya.
"Ada banyak pungutan dengan fungsi yang sama, kalau memberatkan, salahnya satu dihilangkan, kalau pajak sudah ada lebih dahulu kan kalau menurut saya jangan double, kalau memang enggak bisa tarifnya jangan mahal," imbuhnya.
Mamit mengungkapkan, pemerintah juga harus membuat aturan pungutan yang jelas, sebab yang menggunakan air permukaan dari sektor kelistrikan bukan hanya PLTA saja, ada PLTU dan PLTG yang juga memanfaatkan air sebagai pendingin mesin.
Dana yang terkumpul dari hasil pungutan BJPSDA seharusnya digunakan untuk konservasi sumber daya air, sehingga manfaatnya dirasakan oleh pihak yang dikenakan pungutan tersebut.
"Saya kira yang jadi perhatian juga pungutan ini karena ada pungutan lain, selain itu juga apa saja yang dikenakan tarif, kan ada yang jadi pendingin PLTU, dan perlu diperjelas," katanya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)