“Ketiga isu prioritas tersebut akan menjadi dasar penyusunan Rekomendasi Kebijakan dari Task force Energy, Sustainabilty and Climate dengan mempertimbangkan isu-isu kritis lainnya seperti penetapan harga karbon, kerja sama global, mata pencaharian, dan pengembangan kelembagaan untuk pembiayaan dan adopsi teknologi,” imbuh Nicke.
Nicke juga menyampaikan energi merupakan kendala yang mengikat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta sangat dibutuhkan bagi pengembangan ekonomi untuk pulih dari dampak pandemi Covid-19.
Menurutnya, saat ini diperlukan satu tindakan yang mendesak dan terfokus untuk menyikapi berbagai kecenderungan global antara lain laju transisi energi masih tertinggal, perubahan iklim akibat emisi gas rumah kaca antropogenik yang telah menjadi isu kritis serta pertumbuhan ekonomi memanfaatkan konsumsi energi bahan bakar fosil, yang berkontribusi besar atas sebagian besar emisi GRK.
Nicke juga menegaskan bahwa transisi perlu dipercepat secara global, dengan cara tetap meningkatkan ketahanan dan pemerataan energi, untuk menopang pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan ekstrem. Selain itu, gap pembiayaan harus dijembatani, investasi harus dialihkan ke infrastruktur transisi energi dan dapat dibayarkan dengan penetapan harga karbon.
Penting juga untuk memastikan kesetaraan dengan meningkatkan akses dan keterjangkauan energi bersih dan modern yang tidak hanya penting untuk kesuksesan transisi, tetapi juga memberikan manfaat bagi lingkungan, gender, dan ekonomi.
“Pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, elektrifikasi, dan efisiensi energi adalah pilar utama transisi energi, investasi teknologi dan sektor transisi energi semakin cepat. Namun, negara-negara berkembang tidak memiliki kerangka kerja, tata kelola yang mapan, pasar, layanan keuangan yang maju, tenaga kerja yang terlatih, dan akses ke teknologi canggih. Semuanya itu dimiliki oleh negara-negara maju dan diperlukan untuk perubahan tersebut,” imbuh Nicke.
(Taufik Fajar)