JAKARTA - Sri Lanka alami krisis karena tidak bisa lunasi utang jatuh tempo Rp732 triliun. Kondisi krisis Sri Lanka pun pernah dihadapi Indonesia pada 1997-1998.
Di mana pada masa krisis tersebut, tingkat bunga menjadi tinggi, nilai mata uang rendah hingga masyarakat kesulitan mendapat beras dan listrik.
"Kemudian World Bang ikut masuk ketika masuk mereka akan turut campur mengatur tentang pajak harus ditingkatkan. Perusahaan-perusahaan harus dijual, efisiensi dilakukan kemudian juga tekanan-tekanan pada para pekerja menjadi lebih besar tentu saja hal ini sangat tidak disukai oleh masyarakat dan tapi mereka butuh uangnya," ujar Akademisi dan Praktisi Bisnis Rhenald Kasali, dalam Youtubenya, Kamis (23/6/2022).
Pada waktu itu, Presiden dituntut untuk mengundurkan diri, bahkan tiga perempat anggota kabinet mengundurkan diri.
"Kalau kita pelajari sebagai kasus ini (Sri Lanka krisis) tidak beda-beda amat dengan apa yang kita alami sekitar 20 tahun yang lalu yaitu pada tahun 1997-1998," tuturnya.
Rhenald yang ketika itu baru pulang belajar dari AS mengakui bahwa situasi Indonesia saat itu begitu gawat karena terjadi pergantian kepemimpinan. Aksi demonstrasi hingga kepercayaan investor pada Indonesia menurun.
Baca Juga:Â Utang RI Rp7.040 Triliun, Sri Mulyani: Beberapa Negara Rasionya Dramatis
"Nah krisis yang kita alami memang sangat berat saat itu. Kita mengalami krisis kepercayaan utang meningkat, devisa keluar. Inflasi tinggi, bunga bank tinggi. Terpaksa harus menarik anak-anak kita yang sekolah di luar negeri bahkan kita harus membeli beras dengan harga yang tinggi. Kelaparan di mana-mana, kemiskinan meningkat, demonstrasi bahkan telah menimbulkan korban kebakaran, perkosaan, kemudian rakyat berebut makanan dari berbagai supermarket," ujarnya.