Ibrahim turut mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi kerap mengalami upside risk dan downside risk setiap tahunnya. Meski asumsinya 5,3 persen, tetap ada yang perlu diwasapadai di Tahun 2023. Sehingga, mempertahankan tren pertumbuhan di atas 5% adalah sebuah tantangan bagi pemerintah.
"Momentum pemulihan ekonomi dunia kemudian dimoderasi karena kenaikan inflasi global yang sangat tinggi. Kenaikan dari interest rate (suku bunga) dan tightening monetary policy memang didesain untuk memoderasi sisi permintaan. Sehingga, inflasi tidak running wild, dan ini pasti akan terjadi, paling tidak setengah tahun di tahun depan. Interest rate-nya tinggi, inflasinya menurun mulai bertahap," jelas Ibrahim.
Menurutnya suku bunga akan tinggi semakin melambung tinggi. Hal ini bahkan turut diucapkan oleh pejabat di Federal Reserve atau Bank Sentral. Selain itu Amerika Serikat juga menyampaikan bahwa suku bunga akan cukup tinggi dalam waktu yang relatif panjang. Hal ini berarti dampak terhadap ekonomi di negara maju mungkin akan terasa sepanjang tahun 2023.
"Dampaknya kepada perekonomian indonesia adalah terjadinya capital outflow (modal asing keluar). Sehingga Bank Indonesia terpaksa harus menyesuaikan tren pasar global sembari terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan otoritas terkait serta mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan guna mendukung pemulihan ekonomi lebih lanjut," jelasnya.
Di samping itu, ia memprediksi, untuk perdagangan pekan depan, Selasa (06/12/22) mata uang rupiah diproyeksikan dibuka berfluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp15.450 - Rp15.500.
(Taufik Fajar)