Suplai beras dan produk hortikultura pun menipis meski permintaan naik. Dengan demikian, harga dapat melonjak.
Lebih jauh, kondisi Perang Ukraina berimbas pada harga energi, harga pangan impor seperti gandum yang digunakan untuk membuat mie telur, dan harga pupuk.
"Harga pupuk subsidi maupun non-subsidi akan naik dan ini mendongkrak kenaikan harga komoditas yang membutuhkan pupuk seperti jagung [yang digunakan] untuk pakan ternak. Tidak hanya jagung, tapi juga tanaman lain untuk konsentrat pakan ternak," ujar Rusli.
Kedua, inflasi harga sewa kontrakan atau rumah. Hal ini menunjukkan geliat ekonomi sudah kembali usai pandemi.
"Orang sudah mulai banyak [yang menyewa]. Itu menunjukkan kenaikan aktivitas ekonomi yang juga bisa berdampak pada usaha. Setiap tahun selalu ada kenaikan harga sewa 5%-10%," ucapnya.
Mesku begitu, Yati menceritakan bahwa dengan harga-harga yang terus naik, keuntungannya pun berkurang. Empat tahun lalu dia bisa belanja dengan modal Rp1,3 juta dan mendapat keuntungan Rp600.000 per hari. Namun kini, untung yang ia dapat hanya sekitar Rp300.000.
"Dulu keuntungan bisa separuhnya, sekarang enggak bisa. Paling bisanya seperempat," ujar Yati bermuka murung.
Hal senada diucapkan Warto yang laba warungnya merosot tajam, semula sekitar 33% pada 2018 kini menjadi 25% dari pendapatan kotor.
"Jadi [pengeluaran] kami masih ketutup dari hasil penjualan. Untuk gaji karyawan, untuk kontrakan, untuk ini dan itu masih ada sisanya. Walaupun enggak sebanyak dulu," kata Warto.
Lebih dari setengah responden meraup keuntungan bersih kurang dari Rp200.000 setiap harinya. Jika berjualan lima hari dalam sepekan, para pedagang ini mengantongi duit senilai Upah Minimum Regional (UMR) DKI Jakarta per 2023 dalam sebulan.
Namun warteg masih menjadi primadona kaum menengah ke bawah di sekitar Jakarta.
"Satu, karena murah itu sudah pasti. Dan hemat waktu. Jadi enggak perlu masak sehingga lebih efisien," ungkap Axel.
Hal yang serupa diungkapkan oleh Sandi Tri Pamungkas. Ia bekerja sebagai juru masak di restoran Argentina yang letaknya persis di seberang warteg milik Yati.
Walaupun Sandi memiliki keahlian memasak, ia tetap lebih menyukai makanan warteg dibandingkan masakannya sendiri. Alasannya adalah menu warteg yang terkesan 'rumahan', harganya yang murah dan lokasinya yang dekat.
"Kalau makan di warteg, saya jarang pilih menu yang sama. Biasanya yang penting ada sayurnya, ada proteinnya, ayam atau ikan," kata Sandi.
Terkait perubahan harga, dirinya mengaku tak kaget.
"Karena saya sudah tahu juga, saya juga orang kuliner juga, suka beli bahan baku," katanya
(Zuhirna Wulan Dilla)