Sebaliknya, lanjutnya, menjadi anggota OECD tidak berarti menjaga jarak dengan negara-negara BRICS terutama China dan Rusia. Hal itu lantaran, OECD dan BRICS bukanlah blok yang rigid. Sehingga masing-masing anggota tetap bebas melakukan kerjasama.
"Dalam konteks ini, pertimbangan kita mestinya lebih pragmatis bukan politis, mana yang lebih memberikan keuntungan bagi Indonesia itulah yang akan dipilih," imbuhnya.
Wijayanto beranggapan, OECD jelas ingin mempertahankan status quo, dimana beberapa negara Barat ingin mendominasi ekonomi dunia termasuk yang berkaitan dengan sistem perdagangan dunia dan sistem moneter. Sebagai contoh, US Dolar menjadi reserve currency dunia dan WTO yang menjadi wadah
Sementara BRICS ingin melakukan terobosan dari yang paling ekstrem yaitu Dedolarisasi dengan membentuk mata uang alternatif pengganti US Dolar, seperti dipelopori oleh Rusia dan China.
Rusia semakin semangat mewujudkannya setelah negara Barat membekukan aset-aset Rusia di luar negeri pasca conflict Ukraina, banyak negara pun bertanya-tanya.
"Jika ini bisa terjadi pada Rusia, pasti bisa juga terjadi pada mereka. Hingga agenda yang lebih moderat, seperti kerjasama dagang dan pembentukan sistim pembayaran alternatif menggunakan mata uang lintas negara BRICS, ide ini dimotori salah satunya oleh India," papar Wijayanto.
Sebelumnya Menteri Luar Negeri RI Sugiono secara resmi menyatakan keinginan Indonesia untuk bergabung dengan blok ekonomi BRICS sebagai pengejawantahan politik luar negeri nasional yang berdasar nilai bebas aktif.
Hal tersebut disampaikan Sugiono dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus di Kazan, Rusia, Kamis (24/10/2024) waktu setempat.
“(Bergabungnya RI ke BRICS) bukan berarti kita ikut kubu tertentu, melainkan kita berpartisipasi aktif di semua forum,” tegas Sugiono, sebagaimana pernyataan Kemlu RI yang diterima di Jakarta, Jumat (25/10/2024).
(Taufik Fajar)