Sektor padat karya seperti pakaian jadi dan tekstil, alas kaki juga diperkirakan makin terpuruk. Sebagian besar brand internasional yang ada di Indonesia, punya pasar besar di AS.
Menurut data Bhima, di tahun 2024 untuk pakaian jadi ekspor ke AS porsinya 61,4% dan alas kaki sebesar 33,8%. Begitu kena tarif yang lebih tinggi, brand itu akan turunkan jumlah order/ pemesanan ke pabrik Indonesia.
"Sementara didalam negeri, kita bakal dibanjiri produk Vietnam, Kamboja dan China karena mereka incar pasar alternatif. Permendag 8/2024 belum juga direvisi, jadi ekspor sulit, impor akan menekan pemain tekstil pakaian jadi domestik. Ini harus diubah regulasi nya secepatnya," tegas Bhima.
Bhima menyarankan agar pemerintah harus bersiap lomba kejar peluang relokasi pabrik, dan tidak cukup hanya bersaing dari selisih tarif resiprokal Indonesia lebih rendah dari Vietnam dan Kamboja.
"Kunci nya di regulasi yang konsisten, efisiensi perizinan, tidak ada RUU yang buat gaduh (RUU Polri dan RUU KUHAP ditunda dulu), kesiapan infrastruktur pendukung kawasan industri, sumber energi terbarukan yang memadai untuk pasok listrik ke industri, dan kesiapan sumber daya manusia," jelasnya.
Faktor tersebut dinilai jauh lebih penting karena Indonesia sudah tidak bisa guyur insentif fiskal berlebihan dengan adanya Global Minimum Tax. Apalagi, jika sebelumnya tarik investor dengan tax holiday dan tax allowances, sekarang saatnya perbaiki daya saing yang fundamental.
Bank Indonesia juga masih punya ruang untuk operasi moneter, saat cadangan devisa gemuk.
"BI bahkan bisa turunkan suku bunga acuan 50 bps, untuk stimulus sektor riil yang terdampak perang dagang," pungkasnya.
(Feby Novalius)