Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

HOT SHOT: Kisah CEO Asuransi Astra dan Tips Suksesnya

Martin Bagya Kertiyasa , Jurnalis-Minggu, 24 April 2016 |18:15 WIB
HOT SHOT: Kisah CEO Asuransi Astra dan Tips Suksesnya
CEO Asuransi Astra Santosa (Foto: Dok. Asuransi Astra)
A
A
A

Dia melanjutkan, kesenangannya akan ilmu fisika juga awalnya terkesan dipaksakan. Pasalnya, keinginan tersebut diambilnya lantaran dia tidak mempunyai banyak pilihan, jika ingin diterima di universitas negeri.

"Dulu saya maunya di negeri, tapi dulu kan masih diskriminasi, yang keturunan paling cuma 10 persen. Masih pakai sistem Sipenmaru, jadi mau masuk perguruan tinggi yang negeri harus undangan. Semua temen saya yang pinter itu pilih ekektronika," jelas dia.

"Lalu saya cari yang mirip-mirip. Saya tanya ke teman-teman, 'ada yang milih fisika enggak?' Enggak ada, ya sudah saya daftar saja di situ. Saya lebih pilih UGM ketimbang di ITB, karena saya tinggal di situ, jadi kesempatan masuknya lebih besar. Saya kan sekolah di the Brito, itu kan terkenal di Yogyakarta. Lalu saya pilih lagi, UGM yang paling sepi apa? Mipa, lalu Mipa yang paling sepi apa? Fisika. Lalu saya cari yang paling mirip elektro apa, instrumentasi, masuk ke situ," ungkapnya.

Santosa mengungkapkan, dalam memilih kuliahnya tersebut memang tidak ada campur tangan dari pihak keluarganya. Pasalnya, tingkat pendidikan keluarganya kala itu terbilang tidak tinggi.

"Bapak saya cuma lulus SMA ibu SMP, jadi sekolah ya sudahlah suka-suka saja.. Wong, fisika sama teknik sipil saja mereka enggak tahu bedanya. Jadi ketika saya masuk UGM mereka senang, yang penting negeri sudah senang, karena kan murah," kenang dia sambil tertawa.

Untuk menuntaskan kuliahnya tersebut, Santosa pun harus berjuang membayar kuliahnya. Oleh karena itu, dia pun mencari cara agar dapat memperoleh masukan guna membayar kuliah.

"Untuk mencari tambahan saya mengajar di Yogya, ngajar anak SMA. Dulu sebulan 1 SKS itu Rp25 ribu, saya ngambil 24 SKS. Jadi tiap bulan saya ngajar, satu anak Rp25 ribu, jadi bisa tiga atau empat orang," katanya.

Masuk ke perkuliahan, Santosa pun mulai menatap masa depan. Merasakan ketertarikannya pada alat pengukur yang digunakan dalam sebuah perusahaan, dia pun bercita-cita ingin bekerja di luar negeri. "Tadinya ke instrumentasi pengukuran, karena ingin kerja di Prancis yang ada mesin ukur partikel, sekarang sudah enggak kepikiran untuk kuliah, kalau dulu waktu masih muda saya kepikiran di riset," tutur dia.

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement