Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

HOT SHOT: Kisah CEO Asuransi Astra dan Tips Suksesnya

Martin Bagya Kertiyasa , Jurnalis-Minggu, 24 April 2016 |18:15 WIB
HOT SHOT: Kisah CEO Asuransi Astra dan Tips Suksesnya
CEO Asuransi Astra Santosa (Foto: Dok. Asuransi Astra)
A
A
A

Kunci Sustain di Bisnis

Layaknya sebuah perusahaan, Astra juga kerap dilanda dengan masalah. Meski demikian, dengan fondasi yang kuat dari terbangun sejak lama, menjadi kunci dari bertahannya Astra lintas generasi.

Santosa mengatakan, sistem yang dibentuk Astra kini sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Pasalanya, sejak periode 1980-an Astra sudah mulai fokus pada Human Resources (HR), dengan demikian terbangun sistem yang sudah berjalan dengan sendirinya.

"Contoh pada 2010, pak Michael (Direktur Utama PT Astra International Michael D Ruslim) meninggal karena demam berdarah. Kan enggak ada yang tahun, wong seminggu sebelumnya kita masih rapat, tiga hari langsung meninggal. Tapi enggak sampai sebulan sudah jadi Dirut pak Pri (Prijono Sugiarto). Enggak ada masalah, karena sudah baku," jelas dia.

"Jadi untuk sustain itu HR, culture yang sudah terbangun. Kita sudah terbentuk secara natural, Anda bisa melihat teman-teman yang seangkatan dengan saya mereka merasa sudah bisa bangun sendiri, tapi begitu pindah ke perusahaan lain, itu yang namanya culture pasti berebeda.

Dia mencontoh Menteri BUMN Rini Soemarno, yang dulu pernah menajdi salah satu pemimpin di Astra yang sangat terkenal. Namun, pertama kali dia bekerja di Menperindang, Rini tidak bisa mengatur seperti layaknya di Astra.

"Kalau di Astra, abis rapim, oke jalan ya, siap bu, jalan semua. Tapi di sana, enggak jalan. Jadi enggak gampang, berat membangun culture, banyak dari eksekutif Astra yang keluar, mereka mengalami kesulitan," tuturnya.

Santosa melanjutkan, kesulitan yang dihadapi di tiap industri tersebut memang berbeda. Dia mencontohkan, apa yang terjadi di Asuransi Astra, memang tidak bisa ditangani dengan cara yang sama seperti di Astra Agro.

"saya kan enam tahun di agro, tiga tahun di asuransi, sebelumnya kan juga sudah lama di Astra. Kalau di sini, kita kan lebih ke kompetisi, kreativitas marketing, yang seperti itu. Tapi kalau di agro, kan tidak ada seperti itu, kita lebih ke sosial, manage masyarakat," tuturnya.

Meski demikian, dia mengakui tantangan di sektor sosial memang leih sulit diabndingkan dengan kreativitas. Terutama, ketika ada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pasalnya, Astra tidak bisa berpihak kepada siapa pun.

"Tiap ganti pemerintah kita pusing. Kadang orang melihat, waduh pengusaha itu nyogok, antara nyogok sama diperas itu beda tipis. Karena kita tahu, kalau dia sampai menang, kita tidak partisipasi wah repot, izin kita masalah pasti. Sudah enggak tahu deh siapa yang salah, makanya harus cari cara yang memang tidak melanggar hukum. Kalau dengan Astra, kita harus good governance, mereka pasti mau," jelas dia.

"Pasti ada yang datang untuk meminta batuan, dana untuk kampanye, tapi kita bilang. 'Enggak bisa pak, kita ini Astra, kita tidak bisa memberi uang, bapak ingin apa?' Dia bilang, saya ingin bangun jalan, kita bilang kita bangunin, nanti Anda tinggal meresmikan. Nyogok ga? itu kan kita CRS, karena yang kita layani masyarakatnya, tapi yang pasti kita enggak mau ngasi duit," jelas dia.

Dia melanjutkan, para pemimpin di Astra selalu mempersiapkan bawahannya untuk menajdi penerus, yang dikenal dengan isitlah Replacement Table Chart (RTC), dengan cara melakukan review tiap enam.

"Saya mereview bawahan, kalau kamu enggak ada lagi di sini, dalam enam bulan siapa yang bisa gantiin? Masih bisa diserahkan tanggung jawab enggak? Semua diminta begitu, supaya ada pengganti. Ada yang dalam waktu dekat, ada yang tiga tahun ada yang lima tahun. kita selalu punya tiga layer," jelas dia.

"Kalau itu bolong gimna nutupnya, misalkan di program dia perlu waktu lima tahun, oke bagaimana supaya dalam tiga tahun di siap, maka ada jalur specialis atau underwritter, lalu kira-kira training apa yang perlu dia ikuti. Nah itu kenapa astra lebih solid," jelasnya.

Meski demikian, sistem seperti ini memang membuat Astra menjadi tidak efisien, lantaran harus mempersiapkan lebih dari satu orang. Dia mengambahkan, memang di perusahaan kecil lebih effisien, tapi belum tentu lebih reliable.

"Itu kan musti ada buffer, nah buffer itu kan nambahin cost. Misal hanya untuk satu orang, kita buat dua, butuh tiga kita siapkan empat. Tapi itu create reliability, tapi itu effisein enggak? Enggak. Layaknya server komputer, kita punya dua, jadi kalau down kita punya cadangan. Nah, kalau company lain mungkin hanya satu. Mungkin mereka bilang lima tahun kita enggak down, ya belum, pasti akan suatu saat," tutur dia.

Oleh karena itu, ketika salah satu direktur Astra mundur atau meninggalkan jabatannya dengan alasan apapun, maka Astra tidak akan stagnan. "Jadi misalnya hari ini saya enggak ada, enggak sampai dua minggu sudah RUPS ada presdir baru. Memang akan goyang dikit, tapi paling hanya dua atau tiga bulan," katanya.

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement