Lika-liku Eksistensi di Astra
Masuk di Astra, Santosa pun belajar berbagai ilmu baru, sebelum akhirnya mendarat untuk mengurus Asuransi Astra. Untungnya, perpindahan di lini bisnis Astra International tersebut tidak terjadi secara cepat.
"Saya kan 27 tahun di Astra, pindahhnya enggak mendadak sampai sini. Sedikit-sedikit, saya geser kan dikit-dikit. Katakanlah kalau sarjana butuh empat tahun, kalau 27 tahun sudah berapa kali sarjana tuh," candanya.
Dari IT Specialist, Santosa mendapat kesempatan untuk bekerja di Consulting Resource di PT Digital Astra Nusantara pada 1993, sebuah perusahaan hasil kolaborasi Astra Graphia dengan Digital Equipment Corporation, produsen komputer kedua terbesar di dunia setelah IBM.
“Saya pikir wah kesempatan nih, Astra buka divisi infrastruktur telekomunikasi. Saya pikir komputer dengan telekomunikasi enggak jauh kan ya, karena saya spesialisasinya network jadi dengan komunikasi kan dekat. Memang harus beradaptasi juga, tidak mungkin langsung jalan,” katanya.
Salah satu kenangan yang dia ingat adalah saat membeli hard disk sebesar lemari. Menurutnya, hal ini dia lakukan saat projek Bapeksta, departemen keuangan, yang mengharuskan dia membeli hard disk 5 gigabyte (gb) degan harga USD5 juta. "Sekarang 5 gb dikantongin, harga Rp50 ribu, dulu kita bikin itu rumit, kalau bikin itu harus bikin risk floor, AC dari bawah biar enggak panas," katanya.
Dari situ, Satosa muda kemudian dipercaya menjadi Business Development Manager pada anak perusahaan Astra International di PT Astratel Nusantara pada 1995 yang bergerak di bidang infrastruktur.
Dari situ, Santosa kembali dipindahtugaskan menjadi Head of Corporate Support & Planning di PT Pramindo Ikat Nusantara pada 1996, yang berfokus pada penyelenggaraan kerja sama operasional dengan PT Telkom Indonesia. Di perusahaan inilah, dia mulai belajar terkait cost dan profit. "Awalnya kan cuma ngerti pendapatan dikurangi cost sama dengan profit. Lalu saya baca-baca, mulai belajar dan sudah mulai tahu income statement," jelasnya.
Pada periode 2000, dia kembali ke PT Astratel Nusantara, namun kali ini menjabat sebagai General Manager Corporate Finance & Planning. Baru pada 2001 dia ditugaskan di PT Astra CMG Life sebagai Director Sales & Marketing, sebuah perusahaan sakit selepas krisis 1998.
Berhasil memulihkan perusahaan tersebut dari krisis, Santosa didapuk menjadi Chief Financial Officer di PT Astra Graphia pada 2003. "Itu juga kebetulan, karena ada direktur yang resign. Balik lagi selalu ada faktor keberuntungan,” jelas dia.
"Dulu pak Michael (Dirut Astra Michael Dharmawan Ruslim) kaget juga, tahu ga punya latar belakang ekonomi. Saya kan bergaul dengan orang keuangan sudah lama, mungkin beliau pikir saya itu lulusan accounting atau ekonomi. 'Lah ini kan direktur keuangan’ kata dia, tapi ya sudahlah, sudah terlanjur, tapi saya belajar di situ," tutur dia.
Dua tahun mengurusi PT Astra Graphia, dia pun ditunjuk menjadi Chief Financial Officer di PT Asuransi Astra Buana pada 2005. Namun, saat itu kariernya belum berhenti di Asuransi Astra Buana, pada 2007 Michael Dharmawan kembali meregenerasi struktur Astra International.
Dia pun dikirim untuk membantu di PT Astra Agro Lestari sebagai Chief Financial Officer pada 2007, sekaligus menjadi Anggota Komite Investasi Yayasan Dana Pensiun Astra I & II. Mulai 2008, dia ikut berperan menjadi Anggota Komite Investasi PT Asuransi Astra Buana hingga sekarang.
Pada 2013, Santosa kembali lagi ke Asuransi Astra, kali ini dia menjabat Wakil Presiden Direktur di perusahaan itu, baru pada 2014 dia dipercaya sepenuhnya mengurus perusahaan asuransi dengan terbesar Garda Otto tersebut.