JAKARTA - Pemerintah masih belum melirik Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebagai sumber kelistrikan. Pasalnya biaya pokok produksi dari PLTN masih relatif mahal dibandingkan energi fosil.
Hal ini menjawab usulan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) menginginkan agar pemerintah mulai melirik PLTN. Meskipun begitu, pemerintah akan mengkaji kemungkinan PLTN masuk ke dalam Rencana Umum Kelistrikan Nasional (RUKN) 2019-2038.
Baca juga: Keraguan Terhadap Teknologi Nuklir di RI Masih Tinggi
Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan, pihaknya sudah berdiskusi dengan beberapa pihak yang sudah mengembangkan PLTN. Bahkan dirinya juga sudah menerima tawaran dari beberapa pihak untuk mengembangkan PLTN namun pemerintah masih berfikir untuk mencari harga yang terjangkau.

"Mengenai PLTN ini kalau penawaran yang saya terima langsung dari Rosatom, yang pertama tarif listrik terjangkau," ujarnya saat ditemui di Gedung DPR-RI, Jakarta, Senin (15/7/2019).
Baca juga: Sosialisasi Teknologi Nuklir di Indonesia Sudah Rambah 7 Daerah
Salah satu perusahaan yang mengajukan tawaran adalah Rosatom yang mengajukan Biaya Pokok Produksi PLTN sebesar 12 sen per kilo Watt hour (kWh). Harga tersebut masih lebih mahal dibanding Biaya Pokok Produksi listrik rata-rata nasional yaitu sekitar 7 sampai 8 sen per kWh.
"Rosatom menawarkan 12 sen per kWh. Kalau 12 sen per kWh, kalau mau longterm dengan rata-rata BPP listrik nasional misal 7-8 sen per kWh, ini menarik," jelasnya.