JAKARTA - Insiden masuknya kapal coast guard China ke wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara diprediksi pengamat akan terus terjadi mengingat China terus berpegang pada klaim teritorialnya yang biasa disebut nine dash lines, atau sembilan garis putus-putus.
Kementerian Luar Negeri mengatakan bahwa fokusnya saat ini adalah merampungkan diskusi seputar Code of Conduct (CoC) atau tata perilaku di Laut China Selatan bersama China dan negara-negara ASEAN lainnya.
 Baca juga: Kelola Blok East Natuna, Pertamina Cari Partner Selevel ExxonMobil
"Fokus kita sekarang adalah penyelesaian Code of Conduct antara ASEAN dan Tiongkok, dan code of conduct ini kita yakini akan lebih bisa mengelola tata perilaku negara-negara, sehingga menghindari insiden-insiden di wilayah yang sekarang masih disengketakan oleh beberapa negara pesisir yang bersinggungan di Laut China Selatan," ujar Teuku Faizasyah, juru bicara Kemenlu melansir BBC Indonesia, Jakarta, Rabu (16/9/2020).
Ia mengatakan perundingan tersebut kini dihambat oleh pandemi Covid-19, yang tidak memungkinkan negara-negara Asia Tenggara dan China untuk bertemu secara langsung.
 Baca juga: Exxon Hengkang, Pemerintah Akan Tawarkan Blok East Natuna pada Inpex?
"Masih berunding, memang kendalanya sekarang adalah adanya Covid-19, tidak bisa bertemu secara fisik untuk menegosiasikan elemen dari CoC tersebut," kata Faizasyah.
"Namun yang terus kita garis bawahi adalah CoC ASEAN dan China itu harus juga berpegang pada Konvensi Hukum Laut, UNCLOS, itu yang menjadi posisi mendasar Indonesia dan kita meyakini negara-negara lain juga memiliki posisi yang sama."
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) adalah hukum internasional yang telah disepakati dan ditetapkan PBB pada 1982.
 Baca juga: Exxon Mundur dari Blok East Natuna, Menko Luhut: Nanti Saya Cek!
Sementara itu, menurut periset senior dan editor jurnal akademik internasional 'Contemporary Southeast Asia' di ISEAS-Yusof Ishak Institute Dr Ian Storey, menengarai bahwa hal ini akan "pasti" terjadi lagi, dan Indonesia hanya akan bisa terus melayangkan nota protes diplomatik untuk meresponnya.
"Indonesia harus protes, jika berbicara dari sisi legal, karena jika tidak, itu akan dianggap sebagai tanda persetujuan, jadi dari satu aspek, protes ini adalah pro forma, ini tidak akan mengubah apapun. Namun, [dengan nota protes ini] Indonesia kembali menegaskan posisinya dan Indonesia bukan satu-satunya negara Asia Tenggara yang telah mengirimkan protes, Filipina, Vietnam, Malaysia, juga telah protes ke pemerintah China," jelas Ian.
"Indonesia memiliki opsi terbatas, mereka tidak memiliki kekuatan militer atau penjaga pantai untuk mengonfrontasi kapal-kapal China, dan mereka juga tidak mau memperkeruh situasi, jadi Indonesia akan terus mengirimkan nota protes diplomatik, mendorong dibentuknya Code of Conduct antara Asean dan China, dan menegaskan klaim wilayah dan yurisdiksi dalam ZEE-nya," ujarnya.