Dadan menambahkan, selain mempercepat pengembangan EBT dan meningkatkan investasi, Perpres EBT ini juga bertujuan untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai target enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.
"Apalagi sekarang kita sudah sampaikan NDC edisi lebih ambisius, enhanced, naik 2 persen dari 29 persen menjadi 31 persen. Itu jadi salah satu kemajuan utama dalam proses penyusunan Perpres ini," ucapnya.
Dia pun memaparkan beberapa kebijakan utama yang diatur dalam Perpres EBT.
Pertama, penetapan tarif pembelian listrik EBT oleh PLN sebagai single offtaker, dengan mekanisme tarif staging.
Pendekatan tersebut yakni pembelian listrik di sepuluh tahun pertama akan lebih tinggi dari sepuluh tahun berikutnya.
Di mana hal ini bertujuan untuk pengembalian investasi, namun tidak melupakan operasional dan margin yang layak.
"Kita paham pemerintah punya kemampuan terbatas untuk insentif kepada EBT, Menteri ESDM memberikan arahan bahwa daya saing atau ketertarikan investasi harus terjaga, di sisi lain daya beli masyarakat nanti tarif listrik PLN sebisa mungkin tidak terpengaruh," jelas Dadan.
Selanjutnya adalah proses pelaksanaan pembelian listrik EBT, akan ada dua mekanisme yaitu pemilihan langsung yakni berbasis tender atau lelang, dan penunjukan langsung atau sebagai penugasan pemerintah.
Berikutnya adalah pelarangan pembangunan PLTU berbasis batu bara serta penghentian operasional PLTU atau pensiun dini.
Meski begitu, ada beberapa persyaratan terkait kebijakan tersebut.
"Kecuali PLTU yang sudah dalam rencana RUPTL, masuk sebagai PSN dan memberikan kontribusi ekonomi yang besar secara nasional, itu juga diikat di belakang dalam waktu 10 tahun sejak operasi, emisi GRK harus turun minimal 35 persen," pungkasnya.
(Zuhirna Wulan Dilla)