Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Kisah Batu Minto hingga Kutukan, Prasasti Bersejarah dari Malang yang Ada di Rumah Bangsawan Inggris

Dani Jumadil Akhir , Jurnalis-Rabu, 16 April 2025 |17:37 WIB
Kisah Batu Minto hingga Kutukan, Prasasti Bersejarah dari Malang yang Ada di Rumah Bangsawan Inggris
Kisah Batu Minto hingga Kutukan, Prasasti Bersejarah dari Malang yang Ada di Rumah Bangsawan Inggris (Foto: Minto Village/BBC Indonesia)
A
A
A

Nilai Sejarah dan Spiritualitas: Kenapa Harus Dipulangkan?

Bagi para ahli epigrafi, arkeolog, sejarawan, dan masyarakat adat di tanah asalnya, prasasti ini adalah naskah hidup—warisan yang belum selesai diceritakan.

Ditulis pada tahun 850 Saka (928 M), prasasti ini merupakan dokumen penting dari masa kekuasaan Mpu Sindok, salah satu raja besar yang memindahkan pusat kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.

Menurut penelitian Arlo Griffiths, Wayan Jarrah Sastrawan, dan Eko Bastiawan, prasasti ini mencatat pemberian wilayah suci di daerah Sangguran, yang berlokasi di dekat Batu, Malang—sebuah keputusan politik dan spiritual yang menandai fase penting dalam sejarah Nusantara.

"Ini bukan sekadar prasasti tentang administrasi, tapi catatan tentang kekuasaan, peralihan geopolitik, dan pemahaman kuno tentang relasi manusia dengan alam," tulis Griffiths, Sastrawan, dan Bastiawan dalam laporan mereka yang diterbitkan pada 2024.

Tak hanya itu, prasasti ini juga mencerminkan bagaimana masyarakat Jawa abad ke-10 mengelola ruang suci, menghadapi bencana alam, dan mengukuhkan wilayah melalui ritual dan kutukan sakral.

Bagus Muljadi, dosen di bidang teknik kimia dan lingkungan di University of Nottingham, serta inisiator kemitraan ilmiah Indonesia–Inggris, melihat Prasasti Sangguran bukan hanya sebagai peninggalan sejarah, tapi juga sebagai titik temu antara geologi, sejarah, dan geopolitik Indonesia.

Ia bersama Adam Bobbette menggagas seminar internasional "Inscriptions on the Move" di Glasgow pada 2023, untuk mengangkat nilai ilmiah prasasti ini di mata komunitas akademik global.

"Penting untuk membawa kembali prasasti ini karena kekuatannya bukan hanya simbolik, tetapi juga saintifik," ujar Bagus Muljadi, akademisi Indonesia yang berbasis di Inggris dan terlibat dalam proyek penelitian lintas negara mengenai prasasti ini.

"Batu ini adalah jendela pengetahuan, dari sejarah kerajaan, perubahan iklim, hingga bencana alam," tambahnya.

Di tanah asalnya, masyarakat adat Ngadat di Batu, Malang, masih merawat hubungan spiritual dengan prasasti ini, menurut sejumlah laporan lokal dan juga disebut dalam studi terbaru oleh Arlo Griffiths, Wayan Jarrah Sastrawan, dan Eko Bastiawan (2024).

Setiap Agustus, mereka mengadakan upacara penghormatan untuk mengenang kekuatan simbolik prasasti yang hilang itu.

Dalam upacara ini, warga membawa sesajen, membacakan doa-doa leluhur, dan menyampaikan harapan agar batu warisan itu bisa kembali ke tempat asalnya.

Prasasti Sangguran bagi mereka bukan sekadar artefak sejarah, tetapi bagian dari identitas dan keseimbangan spiritual desa.

Bagi sejumlah ilmuwan seperti Adam Bobbette dan Bagus Muljadi, repatriasi bukan hanya sebagai langkah moral, tapi juga sebagai bagian dari diplomasi pengetahuan antara Indonesia dan dunia.

"Ini bagian dari membangun masa depan berbasis pengetahuan. Pemulangan batu itu bukan soal dendam kolonial, tapi soal membangun kembali relasi yang setara," kata Adam Bobbette.

"Dengan nilai sejarah, budaya, spiritual, dan geopolitik yang begitu besar, Prasasti Sangguran adalah milik tanah yang melahirkannya," tambahnya.

Adam adalah penulis buku The Pulse of the Earth, yang membahas geologi politik di Jawa dan memasukkan Prasasti Sangguran dalam narasinya.

Buku ini baru-baru ini memenangkan Harry J. Benda Prize dari Association for Asian Studies (USA)—penghargaan bergengsi untuk buku pertama terbaik di bidang kajian Asia.

 

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement