Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Kisah Batu Minto hingga Kutukan, Prasasti Bersejarah dari Malang yang Ada di Rumah Bangsawan Inggris

Dani Jumadil Akhir , Jurnalis-Rabu, 16 April 2025 |17:37 WIB
Kisah Batu Minto hingga Kutukan, Prasasti Bersejarah dari Malang yang Ada di Rumah Bangsawan Inggris
Kisah Batu Minto hingga Kutukan, Prasasti Bersejarah dari Malang yang Ada di Rumah Bangsawan Inggris (Foto: Minto Village/BBC Indonesia)
A
A
A

Kenapa Belum Kembali: Dua abad di Pekarangan Keluarga Minto

Batu itu masih berdiri di sebuah halaman pekarangan di desa kecil bernama Minto, dekat kota Hawick di perbatasan Inggris dan Skotlandia.

Tak banyak yang tahu keberadaannya. Tak ada plakat, tak ada penjaga.

Sebagian besar orang yang tinggal di sekitar mungkin tak tahu bahwa batu setinggi dua meter itu berasal dari sebuah kerajaan kuno di Jawa Timur.

Sejak pertama kali diletakkan di halaman itu oleh Gilbert Elliot, Earl of Minto pertama, prasasti itu tak pernah dipindahkan, melewati musim dingin berat dan pergantian generasi.

Upaya pemulangan memang pernah dibahas, bahkan sempat menyentuh isu harga.

"Dulu sempat disebut angka £70.000 (sekitar Rp1,4 miliar dalam nilai tukar saat ini)," ungkap sejarawan Peter Carey, yang mengikuti langsung perkembangan diplomasi artefak Indonesia sejak awal 2000-an.

"Tapi itu sangat tidak layak. Ini perampasan kolonial. Tidak seharusnya ada uang yang dibayarkan kepada keluarga. Jangan ulang itu lagi." kata ilmuwan dari Universitas Oxford itu.

Pada 2006, delegasi dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di London mengunjungi lokasi prasasti tersebut.

Salah satu anggota delegasi, Pribadi Sutiono—yang kini menjabat Duta Besar Indonesia untuk Slovakia—menyebut "batu warisan kita tidak terawat".

"Teronggok di halaman, miring tak jelas," ujarnya.

Lord Minto saat ini, Timothy Elliot-Murray-Kynynmound, Earl of Minto ke-7,membenarkan kunjungan itu.

"Benar bahwa pemerintah Indonesia mengirim delegasi untuk melihat Batu tersebut pada 2006 dan kami dengan senang hati menyambut mereka di Minto," tulisnya kepada BBC News Indonesia.

Ia menambahkan bahwa pengunjung memang tidak banyak, "namun selalu disambut dengan hangat, dan selama bertahun-tahun telah ada ketertarikan akademik dari berbagai kalangan terhadap batu yang dianggap sebagai benda sejarah penting itu."

Pada 2014, dua abad sejak batu itu dikirim ke Skotlandia, ada kontak lanjutan.

"Namun tidak ada tindak lanjut konkret dari komunikasi itu," kata Lord Minto.

Ia juga menambahkan bahwa, "belum pernah ada pendekatan serius untuk memindahkannya".

"Keluarga Minto menyambut dengan senang hati setiap minat terhadap batu ini." katanya lagi.

Bagi ilmuwan seperti Adam Bobbette dan Bagus Muljadi, pemulangan prasasti ini adalah bagian dari "diplomasi pengetahuan dan pembangunan pascakolonial."

Tetapi Bagus Mulyadi menyatakan pendekatan diplomasi ini sulit berhasil dan tidak bisa "mengandalkan negara".

"Pendekatan diplomatik selama ini sering gagal karena tak dilandasi argumen saintifik," katanya.

"Prasasti seperti Sangguran seharusnya jadi subjek riset aktif lintas disiplin, bukan hanya simbol dekolonisasi."

"Masyarakat sipil dan diaspora akademik juga harus bergerak, seperti yang kita lakukan dalam proyek ini. Repatriasi harus dibawa ke ruang publik, bukan hanya di meja diplomasi," tambah Bagus.

Ia menekankan bahwa jika publik dan komunitas ilmiah bersuara, batu ini dapat kembali bukan karena rasa kasihan, tapi karena alasan yang tak terbantahkan.

"Restitusi ini bisa menjadi bagian dari transformasi sains Indonesia menuju masyarakat berbasis pengetahuan."

Setelah konferensi internasional pertama digelar di Glasgow pada 2023, para akademisi tengah menyiapkan forum lanjutan pada 2026.

Konferensi mendatang, menurut Bagus, akan melibatkan pemangku kebijakan dengan tiga tujuan besar: pemulangan prasasti, pendanaan riset jangka panjang, dan perumusan cetak biru (blueprint) diplomasi sains Indonesia.

Menjawab pertanyaan BBC News Indonesia, Kementerian Kebudayaan menyatakan bahwa saat ini mereka masih menyusun strategi pemulangan Prasasti Sangguran dan sedang melakukan berbagai kajian serta advokasi, termasuk menjalin komunikasi dengan jejaring kementerian di Inggris dan pihak keluarga Minto.

Namun, hingga saat ini, belum ada pendekatan resmi dalam bentuk surat kepada keluarga Minto.

Pihak kementerian juga menyebut sejumlah hambatan seperti belum adanya payung hukum antara Indonesia dan Inggris terkait repatriasi, serta belum adanya kebijakan khusus dari pemerintah Inggris mengenai restitusi benda budaya.

Komunikasi dengan keluarga Minto juga disebut sebagai tantangan tersendiri yang membutuhkan pendekatan diplomatik melalui berbagai saluran.

Selain Prasasti Sangguran, Kementerian Kebudayaan mencatat sejumlah artefak lain milik Indonesia yang kini berada di Inggris, seperti Prasasti Wangwang Bangen, Prasasti Sobhamerta, serta sejumlah benda budaya dari Keraton Yogyakarta.

Kajian terhadap artefak-artefak tersebut juga tengah dilakukan oleh tim repatriasi.

Tetapi sejarawan Peter Carey menegaskan, waktu untuk "mengkaji" sudah terlalu lama.

"Pada dasarnya, sekarang bola ada di tangan Pemerintah Indonesia. Jika ingin tindak lanjut yang diperlukan adalah keahlian, kewenangan, dan ketegasan. Tanpa itu, inisiatif ini tidak akan ke mana-mana," ujarnya.

(Dani Jumadil Akhir)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement