Menurut Taufik, Subholding Upstream akan menjalankan skema Kerja Sama Operasi (KSO) untuk mengelola Wilayah Kerja (WK) tidak terbatas pada WK yang dikelola PT Pertamina EP. Langkah ini dinilai bisa menjadi peluang untuk lebih agresif mencapai target produksi satu juta barel oil per day (bopd) dan 12 ribu MMscfd gas pada 2030.
Seiring dengan itu, Pertamina sedang memperbaiki skema KSO dan telah berkonsultasi dengan SKK Migas. “Saat ini KSO hanya untuk PEP, kami ingin itu dilakukan juga untuk WK non-PEP. Ini mungkin bisa buka peluang untuk lebih agresif menuju target satu juta barel, sehingga partisipan menuju kesana lebih banyak dan serempak,” kata Taufik.
Taufik menambahkan, integrasi vertikal bisa melalui akuisisi, baik divestasi sebagian maupun divestasi semua. Saat ini Pertamina sedang melakukan mapping terkait hal itu.
“Ada tiga hal, selain no cure no pay, lalu ada KSO, lalu ada merger yang kami dorong untuk mendukung visi internal Pertamina di masa depan,” ungkapnya.
Deputi Perencanaan SKK Migas Benny Lubiantara mengatakan visi produksi satu juta barel yang telah dibuat SKK Migas terus di-update. SKK Migas memahami banyak trigger, pandemi, energi transisi bukan isu baru, sudah lama namun memang ada percepatan.
“Ini tentu berdampak pada proyek-proyek kita. Asumsi-asumsi yang berubah ini tentunya kita update. Pandemi yang dalam sejarah migas belum terjadi ternyata terjadi saat ini, sekarang sudah recovery. Akan terjadi turun naik, itulah karakter oil price,” kata Benny.