Menurut Ibrahim, yang menyebabkan rupiah melemah tajam adalah faktor geopolitik yang kian memanas, dimana Amerika Serikat mengancam Iran.
Disisi lain, kata Ibrahim, Israel melakukan genosida tahap kedua dan mereka menganggap jalur Gaza wilayahnya.
Menurut Ibrahim, pasar juga mengantisipasi dampak negatif dari kebijakan kenaikan tarif Presiden AS Donald Trump yang akan segera diberlakukan tanggal 2 April, konflik baru di Timur Tengah juga memicu kekhawatiran pasar.
Dari segi internal, permasalahan Danantara hingga ucapan Presiden Prabowo Subianto membuat frustasi para investor. Ibrahim menilai pasar merasa ada intervensi pemerintah yang membuat tidak aman investor sehingga keluar dari pasar modal.
Bank Indonesia (BI) menilai pelemahan nilai tukar Rupiah saat ini hingga menyentuh Rp16.600 per dolar AS masih jauh berbeda dengan krisis 1998.
Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia (BI), Solikin M Juhro menjelaskan, pada 1998, Rupiah mengalami depresiasi tajam dari Rp2.800 langsung ke Rp16.900 per dolar AS dalam waktu singkat.
Saat itu, pasar keuangan Indonesia belum dalam, dan cadangan devisa hanya sekitar USD20 miliar dolar AS, jauh lebih kecil dibandingkan dengan kondisi saat ini yang mencapai USD150 miliar.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto merespon nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami pelemahan.
Airlangga pun menegaskan rupiah naik turun biasa saja.
"Kalau rupiah kan naik turun biasa aja," tegasnya kepada awak media di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
(Taufik Fajar)