Dia mencontohkan, dalam mengakses video dalam paket yang disediakan Program Kartu Prakerja, dirinya justru harus mengeluarkan uang untuk membeli paket data internet.
"Kita tidak tahu berapa paket datanya yang terpotong. Kita juga enggak tahu apakah bisa lolos karena setahu saya memang ada seleksi," ungkapnya.
Dana Bansos Rawan Korupsi
Menurut Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah, penyaluran bansos memang dilematis di tengah kondisi yang tidak memiliki sistem data akurat.
"Seharusnya ini dijadikan momentum untuk memperbaiki data kependudukan kita. Tanpa didukung data yang akurat, pilihannya adalah bansos disalurkan menunggu data lengkap sehingga tepat sasaran dan bisa di monitor sehingga lebih aman dari korupsi. Tapi di sisi lain menjadi terlambat," ujar dia kepada Okezone.
Atau bansos juga disalurkan dengan cepat tanpa menunggu kelengkapan data. Sehingga besar kemungkinannya tidak tepat sasaran dan sulit dimonitor, rawan dikorupsi.
"Sekarang pemerintah dan kita harus memilih. Kalau kita ingin cepat, dengan data yang belum sempurna. Jangan berharap sepenuhnya tepat dan rawan penyalahgunaan," ungkap dia.
Sementara itu, Ekonom Indef Bhima Yudhistira menyebut, dengan anggaran yang besar, memang dikhawatirkan ada celah korupsi yang dimanfaatkan oleh oknum. Di mana Rp405 triliun tidak sedikit, apalagi ada dana jaring pengaman sosial sebesar Rp110 triliun.
Kemudian, lanjut dia untuk kartu pra kerja yang menimbulkan polemik anggarannya Rp20 triliun atau setara 3 kali lipat bailout bank century Rp6,7 triliun. Permasalahannya terdapat Pasal 27 pada Perpu No 1 tahun 2020 tentang pengawasan publik menjadi lebih sulit.
"Jadi yang perlu dilakukan adalah memastikan data penerima valid. Misalnya kartu pra kerja ditujukan untuk pengangguran dan korban PHK, tapi ada orang masih bekerja ternyata dapat insentif kartu pra kerja. Maka harus nama dan alamat (by name by address)," ujar dia kepada Okezone.
(Feby Novalius)